Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tarif Listrik I Energi Jangan Didudukkan sebagai Komoditas, tapi Modal Pembangunan Ekonomi

Reformulasi Ganggu Perekonomian

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pemerintah dikhawatirkan akan menaikkan tarif listrik sebagai dampak dari reformulasi struktur tarif sehingga berisiko menggerus daya beli masyarakat dan daya saing industri nasional.

JAKARTA - Pemerintah diminta membatalkan rencana reformulasi tarif listrik dengan memasukkan komponen harga batu bara. Penetapan skema baru tersebut dikhawatirkan memicu lonjakan tarif listrik sehingga berdampak kinerja perekonomian nasional. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada 2018 bakal sulit tercapai.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran, menegaskan pemerintah akan menaikkan tarif listrik sebagai dampak dari reformulasi struktur tarif listrik. Jika pemerintah tetap melanjutkan rencananya, target pertumbuhan ekonomi 2018 berpotensi meleset.

"Industri menjadi tak berdaya saing karena tarif listrik semakin mahal. Bila industri tak bergairah maka perekonomian nasional akan terkena dampak," tegas Tumiran dalam diskusi menyoal kenaikan harga batu bara, di Jakarta, Kamis (1/2).

DEN, terang Tumiran, tetap konsisten dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam kerangka KEN, energi tidak boleh didudukkan sebagai komoditas, tetapi lebih dijadikan sebagai modal pembangunan ekonomi nasional. Konsep ini berlaku untuk energi batu bara dan gas yang saat ini banyak diproduksi di Indonesia.

DEN menjelaskan, ketika daya saing industri tumbuh akan menimbulkan multiplier effect, banyak pabrik baru yang bakal dibangun, lalu semakin banyak lapangan kerja yang tercipta. Dari situ, negara akan memperoleh pajak, baik dari pajak pekerja, pajak produk maupun pajak perusahaan.

Di sisi lain, industri manufaktur semakin tumbuh, produk-produk yang selama ini banyak diimpor akhirnya banyak diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu banyak menguras devisa negara untuk impor.

"Jadi, saatnya sekarang untuk membuat keputusan yang berguna untuk generasi berikutnya. Jika kita salah buat keputusan maka generasi mendatang akan kesulitan membangun industri," ungkap Tumiran.

Seperti diketahui, saat ini sekitar 15 perusahaan batu bara mensuplai kebutuhan bahan bakar pembangkit PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Semenjak harga batu bara naik hampir 50 persen, keuntungan dari belasan perusahaan tersebut hampir mencapai 100 trilliun rupiah.

Perlu diatur

Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmi Radi, menambahkan, jika tidak diatur, keuntungan perusahaan batu bara tersebut akan semakin bertambah. Di sisi lain, PLN menjadi korban sehingga akan menimpakan beban itu ke pelanggan melalui kenaikan tarif.

Karena itu, dirinya mendesak pemerintah mengatur harga batu bara di dalam negeri agar tidak boleh mengikuti harga pasar yang terus melonjak. Hal itu untuk menghindari beban yang dirasakan pelanggan. Skema itu dilakukan oleh Tiongkok di negerinya sehingga bisa mengatur produksinya.

"Pemerintah bisa memanggil produsen-produsen batu bara dan PLN, lalu ditentukan berapa harga yang dibatasi, misalnya batas atasnya berapa atau batas atasnya berapa. Berapa margin yang disepakati, dengan itu maka beban PLN akan berkurang," katanya.

Lebih jauh, Fahmi meminta PLN untuk terus melakukan efisiensi untuk mengurangi bebannya. Efisiensi itu meliputi produksi, distribusi, hingga keuangan.ers/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top