Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Refleksi May Day

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Endang Suarini

Kemunculan kapitalisme setelah ambruknya komunisme di Uni Soviet mendorong kaum kapitalis atau pemilik modal berinvestasi. Pertemuan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, dan pemimpin Korsel, Moon Jae-in, juga diprediksi bakal kian menguatkan kapitalisme. Pasalnya, Korut mungkin akan meniru Tiongkok, negara komunis tapi rasa kapitalis.

Kapitalisme (dari kata kapital atau modal)adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa berbisnis atau melakukan kegiatan usaha demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dengan tokohnya Adam Smith, John Maynard Keynes, Alfred Marshal, Milton Friedman, Gunnar Myrdal dsb, kapitalisme percaya kekayaan, kesejahteraan, kemakmuran dalam masyarakat akan terjadi jika dunia usaha atau kegiatan produksi diserahkan kepada para pemilik modal.

Meski krisis keuangan pernah melanda Amerika dan Eropa, kapitalisme ternyata tidak tumbang. Kapitalisme memiliki kekebalan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri, berubah, berkamuflase dalam berbagai bentuk atau aliran dan akhirnya tetap eksis, bahkan menjadi ideologi pemenang di banyak kawasan di dunia.

Peter Philips menyebut sebuah kelas kapitalis trans-nasional yang punya aset kekayaan senilai 100 triliun dollar AS, memiliki segala sarana dan prasarana untuk menjalankan kekuasaan dari perbankan yang tersentral. Mereka juga pegang seluruh perangkat legal perjanjian internasional, organisasi perdagangan global. Ada jaringan masif yang mendikte berbagai pemerintah di dunia yang diperlengkapi dengan persenjataan canggih. Imperium neoliberal ini begitu leluasa membangun dan mengendalikan perusahaan-perusahaan militer swasta pada level global, yang amat berpengaruh. Mereka mampu mendikte hampir semua elite politik, bahkan militer di banyak negara. Tugasnya memperlancar arus aliran modal mereka ke mana pun.

Sedangkan di level Asia, berlangsung penyatuan transnasional yang didorong modal. Ada penyatuan neoliberal di wilayah Asia seperti pada 'ASEAN+3'.Begitu juga Chiang Mai Initiative (CMI) menciptakan "Asian Monetery Fund" yang kini maju pesat (Cf Buku "Merancang Arah baru Demokrasi Pasca Reformasi", KPG, Editor AE Priono, 2018).

Apa pun penampakan kapitalisme, yang tidak berubah adalah sikap dan pandangan terhadap buruh. Kapitalisme tetap memandang buruh sebagai bagian dari alat produksi untuk meraup untung. Jika buruh tidak mendukung bisa dibuang . Apalagi di level Asia, secara umum terus berlangsung rezim upah murah buruh, termasuk di negeri ini. Meski dalam beberapa tahun ada kenaikan upah buruh, sesungguhnya upah itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan, belum sepenuhnya bisa untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti perumahan dan pendidikan anak-anak.

Maka Dr Verkuyl sudah pernah mengingatkan tentang tujuh dosa kapitalisme liberalistik yang harus dikendalikan agar tidak menimbulkan bencana. Mereka adalah mammonisme, kecenderungan untuk memberhalakan uang. Pemusatan kekuasaan di tangan segelintir orang, yaitu pemimpin industri besar yang mengakibatkan sengitnya persaingan. Seperti dikatakan Dewan-dewan Gereja dalam Konferensinya di Amsterdam pada tahun 1960-an "akan mengutamakan keuntungan yang diperoleh orang yang berkuasa di lapangan ekonomi dengan mengenyampingkan pemenuhan kebutuhan dan permintaan masyarakat akan komoditi. Mengutamakan cara berproduksi yang cenderung mengabaikan moral. Anonimitas, memberi kesempatan segelintir orang bermodal mencari untung tanpa bekerja keras, seperti pemilik saham dari sebuah perusahaan besar. Pencemaran kerja, upah dianggar sebagai biaya produksi, karena itu cenderung mencari tenaga kerja yang murah untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Jika salah urus akan menimbulkan pengangguran (Dr J Verkuyl dalam "Komunisme, Kapitalisme, dan Injil Kristus", BPK, Jakarta, 1967).


Dalam situasi seperti ini, kaum buruh perlu menimba inspirasi dari Gustavo Gutierrez, OP. Pastor dominikan kelahiran Peru 8 Juni 1928 ini dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan teologi pembebasan. Menurut Gutierrez, "pembebasan" sejati mempunyai tiga dimensi utama. Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial atau penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, termasuk kaum buruh. Mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari "segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat." Ketiga, teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan orang lain.

Perjuangkan

Teologi Pembebasan selalu memperjuangkan nasib kaum miskin atau tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil seperti buruh (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation, tr. and rev. Maryknoll: Orbis, 1998, hlm 63f.).

Dulu, Gutierrez bersuara lantang terhadap kaum miskin yang tertindas di Amerika Latin. Kini, kaum buruh memerlukan teologi pembebasan karena mayoritas masih berada dalam belenggu ketertindasan. Mereka masih jauh dari merdeka.

Tapi, bagaimana membebaskan kaum buruh? Apakah lewat jalan kekerasan saja seperti demo-demo para buruh yang anarkis? Teologi pembebasan yang digagas Gustavo Gutierrez sering disalah-mengerti sebagai pemberi inspirasi untuk melegitimasi kekerasan. Apalagi pada awal sejarahnya, ditengarai ada pengaruh Marxisme pada teologi ini.

Namun jangan lupa, teologi pembebasan itu tidak pernah mengabaikan pesan-pesan ilahi dalam Kitab Suci maupun tradisi. Lagi pula, teologi yang tidak boleh dipisahkan dari praksis hidup ini merupakan refleksi atas situasi ketidakadilan yang berkembang di sekitar kita.

Gutierrez menegaskan keberpihakan teologi pembebasan pada kaum tertindas harus tetap menolak segala inisiatif yang termanifestasi dalam kekerasan sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang lain. Pembebasan dalam telologi adalah lewat proses penyadaran.

Maka itu, unjuk rasa yang dilakukan banyak buruh di Tanah Air dalam rangka Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2018, tidak boleh jatuh dalam tindak kekerasan. Setiap kekerasan hanya akan menjebak buruh di dalam lingkaran kekerasan baru yang lebih rumit. Akibatnya, tujuan utama untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh justru terlupakan.

Yang terpenting, ke depan dalam rangka menjalin relasi yang lebih manusiawi antara para buruh dan pengusaha, perlu terus diupayakan pendekatan dialogis yang saling menghargai posisi dan martabat masing-masing. Bukan relasi yang hendak saling meniadakan, seperti pada masa lalu ketika rezim Orba meniadakan Marsinah.

Kecuali itu, di balik sistem kapitalis yang dianggap "jahat" sekalipun, sebenarnya masih ada cukup banyak pengusaha yang sadar untuk menghargai para buruhnya sebagai aset terpenting dalam perusahaan yang harus dimanusiawikan dan dihargai martabatnya.

*Penulis adalah Buruh di Sebuah Perusahaan Farmasi di Sidoarjo

Komentar

Komentar
()

Top