Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengembangan Pertanian I Desember 2018, Indeks Daya Beli Petani Cenderung Stagnan

Realisasi Anggaran Belum Efektif

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Bantuan pemerintah ke sektor pertanian mulai dari pupuk hingga alat mesin belum mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan petani.

JAKARTA - Pemerintah didesak segera mengevaluasi penggunaan anggaran sektor pertanian. Sebab, sasaran kebijakan yang diambil pemerintah selama ini justru kontraproduktif bagi peningkatan kesejahteraan petani.

Indikasi tersebut bisa dilihat dari pendapatan petani terus merosot. Selain itu, saat panen raya, pemerintah justru memutuskan membuka impor beras sehingga merusak harga gabah di level petani.

Peneliti Ekononi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menegaskan bantuan kepada petani, baik pupuk maupun alat mesin pertanian (alsintan) belum merata dalam pola distribusinya. "Pemerintah gagal menyejahterahkan petani, tapi kampanye soal bantuan pertanian masif sekali. Hal itu tidak sinkron," ujarnya, di Jakarta, Kamis (3/1).

Di sektor perkebunan, lanjut Bhima, anjloknya harga sawit disebabkan pemerintah lambat mengantisipasi penurunan permintaan dari negara tujuan ekspor tradisional. Menurutnya, upaya ekstensifikasi negara tujuan ekspor sangat lambat.

"Sawit dihambat di Eropa dan India harusnya bisa diekspor ke Afrika dan Timur Tengah. Hambatan seperti penghapusan pungutan ekspor CPO juga telat. Malaysia lebih dulu menghapus pungutan," ungkap Bhima, di Jakarta, Kamis (3/1).

Untuk itu, demi memperbaiki daya beli petani, pemerintah dinilai perlu lebih lebih mengefektifkan anggaran di sektor pertanian. Karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali total anggaran bantuan pertanian.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan daya beli buruh tani tertekan. Indikasinya, Nilai Tukar Petani (NTP) cenderung stagnan dengan pertumbuhan relatif kecil, yaitu 0,04 persen menjadi 103,16 pada Desember 2018.

Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan lesunya harga sejumlah komoditas perkebunan di pasar internasional telah menggerus daya beli tani. "Tingkat harga yang diterima petani cuma naik 0,54 persen. Sementara tingkat harga yang dibayarkan buruh tani untuk konsumsi sehari-hari mencapai 0,5 persen," katanya.

Berdasarkan sektornya, tekanan daya beli tertinggi terjadi pada sektor tanaman perkebunan rakyat yang anjlok hingga 1,16 persen. Hal ini karena penurunan harga sawit, karet, dan kakao sekitar 0,7 persen secara nasional. Hal ini membuat penurunan NTP tertinggi terjadi di Sulawesi Barat karena harga kakao turun hingga 6,21 persen.

Kendalikan Harga

Baca Juga :
Pembagian Dividen

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan) Kuntoro Boga Andri menyampaikan, peningkatan daya beli petani ini tidak dapat dilepaskan dari upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi dan mengendalikan harga di tingkat petani maupun konsumen.

Pemerintah memang melakukan berbagai upaya dalam mengurangi kesenjangan antara harga di tingkat petani dan konsumen. Upaya pemerintah dalam pengendalian harga di tingkat petani maupun tingkat konsumen ini berdampak pada peningkatan daya beli petani. ers/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top