Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Megaproyek I Jangan Terulang Korupsi PLTU Riau

Proyek Listrik Harus Transparan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pasokan listrik ke masyarakat berjalan normal. Penunjukan direktur utama PLN yang definitif menunggu RUPS.

JAKARTA - Sejumlah kalangan mendesak agar proses lelang megaproyek pembangunan pembangkit berkapasitas 35 ribu megawatt (MW) harus lebih transparan. Hal itu untuk menghindari seperti yang terjadi dalam kasus Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau I yang turut menyeret nama Direktur Utama PLN nonaktif, Sofyan Basir. Hal ini ditegaskan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia, Yusri Usman, di Jakarta, Senin (29/4).

Menurutnya, ketentuan penunjukan langsung untuk proyek PLTU di mulut tambang harus direvisi. "Itu untuk menghindari praktik kongkalikong seperti yang terjadi dalam kasus PLTU Riau I," ungkapnya. Jika tidak direvisi, semua yang menjadi bagian dari megaproyek pembangunan pembangkut 35 ribu MW rawan bermasalah. Hal itu mengingat proyek tersebut merupakan peluang kontraktor listrik untuk mengeruk keuntungan besar.

Ketika ditanya terkait dengan pengganti yang pantas untuk mengisi lowongan dirut perusahaan sektor kelistrikan tersebut, menurut Yusri, dia harus punya integritas dan berkompeten di bidang pengembangan energi di masa mendatang. "BUMN juga harus bisa dilindungi dari intervensi kekuasaan yang berpotensi merugikan PLN," tegas Yusri.

Negosiasi proyek PLTU Riau I dihentikan untuk sementara waktu. Hal itu dimulai pada Juli 2018. Penghentiannya hingga batas waktu yang tidak ditentukan dan baru dilanjutkan setelah proses hukumnya selesai. Penundaan proyek tersebut diduga akibat adanya kesalahan prosedur tender dalam pengadaan batu bara yang mengundang pihak tertentu untuk mengamankan proyek dimaksud.

Adapun Sofyan Basir telah ditetapkan sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap proyek berkapasitas 2 x 300 MW tersebut. Pada Senin (29/4), lembaga tersebut memanggil petinggi Pertamina, Nicke Widiyawati, dan Iwan Supangkat. Saat itu, keduanya menjabat sebagai direksi PLN.

Menurut KPK, keterangan keduanya sangat diperlukan untuk mendalami kasus PLTU Riau I, termasuk dalam memfasilitasi keingingan konsorsium PT Blackgold Natural Resorces Ltd sebagai pengembang pembangkit listrik swasta dalam proyek 35 ribu MW.

Indikasi Terlibat

Kendati baru dipanggil sebagai saksi, Yusri menilai pemanggilan eks direksi tersebut mengindikasikan adanya keterlibatan aktif dalam kasus itu. "Diduga kuat kasus ini melibatkan sejumlah direksi PLN lain karena memang tak mungkin Sofyan bekerja sendiri," tegas Yusri.

Namun, Nicke mengakui hanya dipanggil untuk ditanya terkait dengan tugas pokoknya sebagai Direktur Perencanaan PLN saat itu. Dia tidak menjelaskannya secara mendetail. "Hanya sesuai dengan tugas dan fungsi saya saat itu," kata Nicke.

Selain Nicke dan Iwan, sebelumnya KPK telah memanggil direksi PLN lainnya. Adapun kasus ini juga telah menyeret sejumlah anggota DPR yang diduga menerima commitment fee sebesar 2,5 persen atas proyek tersebut. Pengamat Energi dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Fahmi, menduga ada kesalahan prosedur tender dalam pengadaan batu bara yang mengundang pihak-pihak tertentu untuk mengamankan proyek tersebut.

"Kami minta KPK terus mengawasinya agar tidak ada lagi proyek lain yang mengalami kasus serupa, apalagi proyek-proyek tersebut terkait dengan megaproyek 35 ribu MW," tambah Fahmi.

Sementara itu, mengacu pada anggaran dasar, rapat umum pemegang saham (RUPS) diberikan waktu selama 30 hari untuk melakukan proses pergantian pucuk pimpinan PLN. ers/ G-1

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top