Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 09 Jan 2025, 16:00 WIB

Program Food Estate yang Harmonis dengan Lingkungan dan Masyarakat Adat, Bagaimana Caranya?

Presiden Prabowo saat kunjungan kerja ke pertanian padi di Merauke.

Foto: The Conversation/Sekretariat Presiden

Jatna Supriatna, Universitas Indonesia

Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan terus melanjutkan program lumbung pangan (food estate) di Merauke, Papua Selatan, sebagai langkah untuk mewujudkan swasembada pangan di Indonesia.

Program tersebut baru-baru ini menjadi sorotan publik karena adanya rencana pembukaan lahan secara masif untuk aktivitas pertanian. Menurut berita, ribuan buldoser sudah tiba di Merauke dan siap membuka lahan lebih dari sejuta hektare untuk pencetakan sawah dan komoditas lainnya.

Kontroversi terjadi salah satunya karena masyarakat adat di Merauke menganggap lahan sebagai ibu, yang artinya menjadi sumber kehidupan. Setidaknya ada empat suku asli di Merauke yakni Kanum, Marind, Marori dan Yei. Dari keempat masyarakat adat ini, suku Kanum memiliki sekitar 75% ulayat dari kawasan di sekitar Taman Nasional Wasur (TNW) di Merauke.

Niat untuk mencapai swasembada pangan memang baik. Namun, kita perlu memastikan konsep pertanian modern dan tradisional (berbasis adat) tidak bertabrakan satu sama lain. Begitu pula dengan pelestarian keanekaragaman hayati harus menjadi perhatian. Upaya membangun pertanian massal harus mempertimbangkan  perlindungan biota yang berisiko tersingkirkan saat hutan dikonversi menjadi lahan pertanian.

Dalam hal ini, pengaturan lanskap hutan sangatlah penting untuk memastikan keseimbangan antara ruang-ruang dengan fungsi produksi (seperti pertanian dan perkebunan) serta fungsi konservasi lingkungan. Keduanya, sebagaimana tertuang dalam buku saya bersama kolega, sangat krusial untuk berjalan secara beriringan.

Keseimbangan dalam pemanfaatan ruang juga menjadi salah satu perhatian saya bersama rekan-rekan di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pandangan kami tercantum dalam kertas kebijakan (belum dipublikasi) beserta hal-hal lainnya yang perlu diperhatikan oleh Presiden Prabowo setidaknya lima tahun ke depan.

Penataan ruang yang tidak seimbang berisiko menciptakan dominasi satu kepentingan terhadap kepentingan lainnya. Misalnya, suatu ruang hanya mementingkan produksi, atau sebaliknya mementingkan konservasi lingkungan dan atau kepentingan masyarakat lokal.

Lantas, di tengah kepentingan kita untuk mencapai swasembada pangan, membangun infrastruktur, serta melestarikan lingkungan di dalamnya, apakah penataan ruang yang seimbang masih memungkinkan?

Berdasarkan pengalaman penelitian saya, jawabannya adalah ya.

Ruang yang seimbang

Pada 2008, saya terlibat dalam tim penelitian untuk merumuskan model harmonisasi ruang antara pembangunan industri kayu biomasa di Merauke. Penelitian ini merupakan hasil kerja sama Conservation International, Medco Group, dan beberapa lembaga lainnya.

Model ini kami buat agar pemanfaatan kayu untuk industri biomassa di Merauke tidak membahayakan keanekaragaman hayati sekaligus tetap menjaga tatanan masyarakat adat setempat.

Penataan alokasi lahan untuk berbagai kebutuhan yang berbeda membutuhkan analisis menyeluruh terhadap berbagai tujuan serta pilihan trade-off di antaranya. Pengukuran kesesuaian lahan untuk pertanian juga harus mempertimbangkan faktor iklim, jenis tanah, akses pasar, dan hal lainnya.

Di sisi lain, identifikasi kawasan untuk konservasi atau perlindungan keanekaragaman hayati acap melibatkan penggabungan “peluang dan kendala”. Hal ini mencakup pertimbangan manfaat dan biaya ekonomi serta sosial, pola distribusi spesies, dan kelangsungan hidup populasi.

Proses ini juga bergantung pada analisis mendalam terhadap nilai-nilai sosial, kendala dan peluang dalam pelaksanaan produksi maupun konservasi, dan semua data dari berbagai aktivitas sosial dan budaya di Merauke.

Penilaian ini kemudian kami integrasikan dengan berbagai metode, terutama metode SMCA (spatial multi criteria analysis) untuk memberikan peringkat akhir dari hasil yang memperhitungkan trade-off antara kriteria. Idenya adalah untuk menemukan kompromi terbaik untuk menyeimbangkan produksi dan konservasi. Harapannya, hasil penataan kawasan ini dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan, meskipun mungkin tidak sepenuhnya memuaskan aspirasi tertinggi mereka.

Di Merauke, studi kami membuat garis batas (delienasi) kawasan desa, kebun sagu, lokasi adat untuk masyarakat berburu, begitu juga desa dan kawasan lahan basah. Hasilnya, dari sekitar 160 ribu ha konsesi, hanya sekitar 65-70 ribu ha saja yang dapat dijadikan kawasan produksi.

Dua skenario keseimbangan

Riset kami membeberkan dua skenario terbaik yang merupakan hasil musyawarah dari tingkat kampung sampai ke kabupaten. Kedua skenario ini merupakan representasi dari keanekaragaman hayati, karakter spasial (bentuk, konektivitas, serta konektivitas lahan basah dan sumber daya air), produksi, dan masyarakat.

Skenario A: Persyaratan skenario ini adalah kawasan lindung dalam konsesi harus merepresentasikan 30% target keanekaragaman hayati. Kawasan adat (kawasan untuk masyarakat adat berburu) termasuk dalam kawasan konservasi, sedangkan area kampung (permukiman) kami pisahkan dari kawasan perlindungan.

Skenario B: Skenario ini memiliki tata ruang yang lebih kompleks, dengan area hutan produksi lebih besar tapi tetap tak melebihi 40% dari total luas konsesi. Dalam skenario ini, kami tetap menjaga target 30% keanekaragaman hayati dengan mengoptimalkan kawasan adat/kawasan perburuan (ada enam suku) dan kawasan konservasi di dalam lahan konsesi. Area kampung juga kami pertahankan, tetapi terpisah dari kawasan lindung/konservasi.

Tentunya perumusan skenario ini tak lepas dari perdebatan tentang pengambilan keputusan konservasi dan pembangunan konsensus tentang masa depan yang diinginkan sesuai dengan kebudayaan setempat.

Untuk membantu pengambilan keputusan, kami menggunakan metode visualisasi sederhana dua kemungkinan skenario masa depan. Hasil visualisasi kemudian dilihat serta dibicarakan oleh masyarakat lokal bersama pemerintah, perusahaan, dan lain-lain. Oleh karena itu, memang pendekatan ilmiah yang multi, trans, dan interdisiplin sangat diperlukan untuk menghasilkan skenario yang dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan.

Kami meminta peserta untuk mengilustrasikan keseimbangan yang ideal antara tanaman campuran, perkebunan, penggembalaan ternak, dan hutan. Visualisasi ini mempermudah pertukaran informasi, mengurangi ketegangan antarpihak, dan mendorong kesepakatan bersama dalam pengelolaan bentang alam.

Lumbung pangan Merauke yang win-win

Saya menganggap adaptasi hasil penelitian kami dalam pengembangan kawasan pertanian di Merauke tidak terlalu sulit, asalkan ada kemauan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. Tujuannya agar program lumbung pangan tetap sejalan dengan pelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal, keberlanjutan ruang-ruang adat.

Keuntungan utama dari pengembangan model harmonisasi ruang ini adalah lahan perburuan, lahan pertanian dan budaya masyarakat adat di sekitar kawasan lumbung pangan di Merauke tidak terlalu terganggu. Artinya, lahan-lahan yang diprioritaskan untuk pertanian adalah hasil negosiasi dengan masyarakat adat.

Adapun lahan ini, berdasarkan pengamatan saya selama ini, merupakan lahan-lahan yang non-utama dari masyarakat adat—biasanya terletak di perbatasan dan bekas objek sengketa antarkawasan adat.

Pertimbangan keberagaman hayati dalam food estate juga mendukung pemenuhan komitmen Indonesia untuk memperluas kawasan konservasi setidaknya 30% dari total luas wilayah pada 2030. Menurut saya, kawasan konservasi ini juga dapat beririsan dengan ruang-ruang yang dikelola masyarakat adat.

Untuk memberdayakan masyarakat adat, pemerintah dapat mempertimbangkan pembagian sebagian hasil keuntungan lumbung pangan untuk modal pengelolaan tanah ulayat yang berkelanjutan (misalnya pemanfaatan madu, buah, akar, dan sebagainya).

Artinya, kalau kita menginginkan lumbung pangan di kawasan Merauke dan sekitarnya seluas 1,6 juga ha, maka kawasan yang diharmonisasikan sebaiknya lebih luas lagi. Bahkan, perencanaan ini perlu ruang satu kabupaten ataupun daerah di sekitarnya yang juga menjadi lokasi lumbung pangan.

Perencanaan serupa pernah saya lakukan bersama tim—termasuk lembaga masyarakat sipil nasional serta lokal—untuk membantu kinerja Pemerintah Papua (dulu Irian Jaya) pada 1997.

Oleh karena itu, pemerintah juga perlu menyelaraskan model perencanaan lumbung pangan tersebut dengan rencana pembangunan jangka menengah dan panjang di Merauke maupun Tanah Papua. Harapannya, program pemerintah dapat berjalan selaras dengan rencana pengembangan di tingkat kabupaten maupun provinsi.The Conversation

Jatna Supriatna, Professor of Conservation Biology, Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.