Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Daya Saing Industri I Defisit Perdagangan Masih Mengkhawatirkan

Produk Ekspor Harus Bernilai Tambah

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Peneliti mendesak pemerintah agar meningkatkan daya saing industri lokal melalui produk ekspor yang bernilai tambah.

JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) diminta untuk mendorong peningkatan ekspor produk yang bernilai tambah, ketimbang hanya mengandalkan ekspor yang masih bernilai rendah. Di sisi lain, pemerintah harus mengurangi produk impor karena Indonesia terus dibayangi defisit neraca perdagangan yang diprediksi akan semakin parah dari tahun ke tahun.

Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ), Hafidz Arfandi, di Jakarta, Selasa (19/6) mengatakan, ekspor yang bernilai tambah rendah berbasis komoditas extractive, mentah, dan setengah jadi. Lebih lanjut Hafidz, mengatakan, Indonesia memiliki masalah mendasar, yaitu daya saing industri. Semangat agresivitas free trade agreement (FTA) yang dilakukan oleh pemerintah harus diiringi sejumlah hal penting seperti peningkatan kapasitas produksi domestik, terutama yang berbasis manufaktur.

Demikian juga, dia menuturkan, perlunya pertimbangan daya saing komoditas di pasar global, serta skema antisipatif untuk mengelola ekspansi impor ke pasar domestik. Havidz menegaskan, tanpa dilakukan hal tersebut, agresifitas FTA hanya akan menjadi kuburan bagi Indonesia.

Lebih lanjut, Hafidz menjelaskan, dengan mengacu pada Revealed Comparative Advantage (RCA), daya saing komoditas Indonesia di pasar utama dunia masih berada kurang dari satu atau berada di bawah rata-rata global, yang mana untuk menjadi pemain pasar yang kompetitif setidaknya nilai RCA harus lebih dari satu dan semakin tinggi nilainya akan semakin baik.

Hafidz menegaskan perlunya pemerintah mengembangkan industri berbasis substitusi impor dengan memperkuat rantai suplai berbasis produk masyarakat lokal, khususnya di sektor Agroindustri dan Marine Industry.

Diketahui, pemerintah menargetkan pertumbuhan kinerja ekspor Indonesia di tahun 2019 sebesar 5,5-6,6 persen (year on year). Bahkan Menteri Perdagangan menargetkan peningkatan ekspor nonmigas Indonesia bisa mencapai 7,5 persen.

Menurutnya untuk menjaga momentum pertumbuhan tentunya target 7 persen bukan hanya merupakan ambisi pemerintah saja, melainkan sebuah keharusan yang dicapai Indonesia untuk bisa segera keluar dari jebakan midlle income trap.

Hafidz mengatakan, pertumbuhan 7 persen hanya bisa dicapai dengan skenario menumbuhkan kembali industri setidaknya di atas pertumbuhan Produk Dometik Bruto (PDB), artinya jika pertumbuhan PDB ditargetkan 7 persen maka perlu pertumbuhan industri setidaknya 8-10 persen.

Defisit Perdagangan

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti menjelaska pemerintah tidak cukup dengan hanya mengejar nilai ekspor dengan memperbanyak FTA untuk memperbaiki kondisi neraca perdagangan. Pasalnya, persoalan defisit neraca perdagangan dikarenakan masalah struktural dalam kinerja perdagangan yang mempengaruhi fondasi perekonomian nasional dalam jangka panjang. Kondisi Perang Dagang berkontribusi terhadap perburukan kinerja perdagangan Indonesia.

Karena itu, menurut Rachmi Hertati, perlu strategi tepat untuk memperbaiki struktur kebijakan perdagangan Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing. Ia menjelaskan bahwa strategi Pemerintah Indonesia sangat reaktif dalam menyelesaikan persoalan defisit neraca perdagangan.

Penambahan sebanyak 12 perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral maupun regional, dipandang bukanlah jawaban tepat untuk meningkatkan nilai ekspor Indonesia. "Pembukaan pasar melalui FTA memang memungkinkan untuk membuka peluang ekspor yang lebih besar, tetapi bukan berarti dengan sendirinya mampu menaikan nilai ekspor,"ungkapnya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (18/6). ers/E-12

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top