Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
UU Pemilu - Kurang Bijak Membandingkan Kondisi 2019 dengan 2014

"Presidential Threshold" Lebih Banyak Manfaatnya

Foto : ANTARA/M Agung Rajasa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Polemik tentang presidential threshold terus berlangsung setelah Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu diketok palu. Beberapa fraksi partai di DPR walk out karena tak setuju dengan diterapkannya presidential threshold.

Pemerintah sendiri beranggapan, ambang batas pencapresan lebih banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya.


"Pertanyaan sekarang yang muncul, apakah presidential threshold memiliki manfaat positif atau maslahat dalam proses seleksi capres atau sebaliknya lebih banyak mudaratnya.

Yang pasti, jawabannya lebih banyak manfaat ketimbang mudaratnya," kata Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Minggu (23/7).


Tjahjo menjelaskan presidential threshold telah digunakan dua kali pemilu dan hasilnya menunjukkan bukti bahwa presidential threshold sangat positif menjadi alat seleksi awal capres dan cawapres.


"Dengan demikian, presidential threshold sebagai alat seleksi awal sangat bermanfaat menuju terpilihnya pemimpin negara dalam pemilu," kata Tjahjo.


Tjahjo menambahkan, negara lain yang tidak menggunakan presidential threshold tetap memiliki alat seleksi awal bagi capres dan cawapres.

Di Amerika Serikat, alat seleksi awal itu disebut pemilihan pendahuluan. Misalnya, pada pemilihan presiden Amerika yang lalu, Donald Trump bertarung dengan Hillary Clinton.

Mereka melalui seleksi awal dulu, yakni lolos terpilih dalan proses pemilihan pendahuluan yang difasilitasi oleh penyelengara pemilu dan dibiayai oleh negara.


"Artinya, negara demokrasi maju tetap memiliki alat atau instrumen seleksi awal capres dan cawapres. Bedanya Indonesia hari ini menggunakan presidential threshold," katanya.


Dibaca Lengkap


Tjahjo juga menegaskan, UU Pemilu yang diketok palu dalam sidang paripurna itu mengatur ke depan, bukan mengatur ke belakang. Tjahjo juga meminta agar semua pihak membaca lengkap Pasal 6A UUD 1945.


" Harus dibaca lengkap pasal itu mulai dari (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dan dikunci di Ayat (5) tentang tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wapres yang lebih lanjut diatur dalam UU," ujarnya.


Tentu, kata dia, Ayat (5) Pasal 6A berkorelasi dengan Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2) dan berkorelasi dengan Pasal 6A Ayat (1), Ayat (2), Ayat ( 3), serta Ayat (4). Dengan demikian, presidential threshold adalah bagian dari tata cara pemilihan presiden dan wapres, sebagaimana dikunci Pasal 6A ayat (5).


"Sekarang pendapat dan opini yang coba terus dibangun oleh pihak yang menolak presidential threshold di UU Pemilu dengan menyatakan bahwa mengapa hasil Pileg 2014 di pakai sebagai acuan presidential threshold dua kali,

dipakai untuk Pilpres bulan Juli 2014 dan Pilpres 2019 atau mereka umpamakan tiket atau karcis yang sudah disobek kok dipakai lagi," tutur Tjahjo.


Atas opini penolak ambang batas pencapresan tersebut, kata Tjahjo, dapat dijelaskan secara sederhana. Pertama, putusan MK No 14/XI-PUU/2013 diputuskan di saat tahapan Pilpres 2014 sedang berlangsung sehingga tidak serta-merta diberlakukan pada Pilpres tahun 2014, tapi diberlakukan untuk Pilpres 2019.

Dengan begitu, pada saat pemilu 2019 yang sudah serentak, tidak ada hasil pemilu legislatif yang dapat jadi rujukan dasar presidential threshold selain hasil pemilihan legislatif 2014.


"Penjelasan kedua, pileg dan pilpres serentak baru pertama kalinya dilaksanakan tahun 2019 maka pasti rujukan presidential threshold adalah hasil Pileg 2014," katanya.


Oleh karena itu, kata dia, kurang bijak membandingkan kondisi 2019 dengan 2014. Mestinya berpikir ke depan tahun 2024, 2029, dan seterusnya. Pasti tiket hasil pemilu sebelumnya hanya digunakan cuma satu kali saja. ags/P-4


Redaktur : Khairil Huda
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top