Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Keuangan | Penagihan Sisa Piutang Harus Mengacu Perjanjian MRNIA dengan Bunga Majemuk 2 Persen Per Bulan

Piutang Negara dari BLBI Wajib Ditagih

Foto : ANTARA/FIKRI YUSUF

TAWARKAN PRODUK UMKM | Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menawarkan produk yang dijual dalam sebuah pameran produk UMKM di kawasan Kuta, Badung, Bali, belum lama ini. Dengan tegas pemerintah mengejar utang pajak pelaku UMKM tetapi di sisi lain tidak melakukan hak tagih terhadap piutang negara dari debitur BLBI.

A   A   A   Pengaturan Font

» Utang pajak pengusaha kecil ditagih dan dikejar-kejar, kenapa utang debitur BLBI yang begitu besar didiamkan.

» Moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI satu-satunya jalan karena pemerintah sudah kehabisan instrumen moneter.

JAKARTA - Pemerintah sebenarnya masih punya celah mengoptimalkan penerimaan negara di tengah anjloknya sumber penerimaan dari perpajakan dan penerimaan lainnya. Peluang itu dengan memanfaatkan piutang negara seperti hak tagih Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang oleh obligor (penerima) belum dibayar seluruhnya karena mereka berlindung di balik Surat Keterangan Lunas (SKL) yang mereka kantongi dan hanya ditandatangani oleh Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional saat itu.

Padahal UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Bab V Pasal 37 Ayat 2 Poin c menyebutkan penghapusan piutang negara ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR untuk jumlah lebih dari 100 miliar rupiah.

Sedangkan yang diterima obligor nilainya triliunan rupiah dan tidak pernah ada pembahasan soal ini antara Presiden dan DPR apalagi secara tertulis.

Guru Besar Ilmu Hukum Perdata Universitas Airlangga Surabaya, Lucianus Budi Kagramanto, yang dimintai pendapatnya, Kamis (10/9), mengatakan dalam kondisi menjelang resesi seperti sekarang, pemerintah layak mencari pemasukan untuk menutupi kekurangan anggaran, terutama sumber pemasukan potensial seperti piutang BLBI yang telah lama terabaikan.

"Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, apalagi terancam resesi, sangat layak ditagih utang-utang seperti BLBI dan lainnya. Meskipun sudah lama sekali, utang-utang ini perlu dikejar pokok dan bunganya sesuai kesepakatan yang mereka tanda tangani dalam Master of settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA)," kata Lucianus.

Dengan anggaran yang minus, sangat wajar, kata Lucianus, mengoptimalkan berbagai upaya untuk mendapat pemasukan, karena rakyat dalam krisis pandemi sudah sangat terbebani, sementara sulit mengharapkan pajak.

Sebagai informasi, dalam klausul MRNIA disebutkan untuk pokok utang yang tidak dibayar oleh obligor dikenakan bunga 2 persen per bulan dengan bunga majemuk. Kalau tidak berbunga majemuk saja selama 22 tahun sudah mencapai 258 persen.

Kehabisan Instrumen

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengatakan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI satu-satunya jalan karena pemerintah sudah kehabisan instrumen moneter untuk memfasilitasi kebutuhan APBN. Apalagi utang sudah menggunung dan untuk membayar sudah tidak cukup walaupun dengan utang berapa pun. Sebab itu, pemerintah harus mencari pendapatan lain saat pajak sulit diharapkan.

"Kasus BLBI dibuka lagi, untuk mengejar pendapatan negara karena BLBI itu besar. Negara harus kejar dan tagih debiturnya dan tujuh turunannya, harus tanggung jawab," kata Uchok.

Pemerintah, kata Uchok, harus tegas mengejar debitur BLBI itu karena tidak pernah melunasi kewajibannya. SKL tidak menghapus utang karena tidak benar secara hukum dan bertentangan dengan UU Perbendaharaan Negara. Selama ini belum pernah Presiden dan DPR mengeluarkan secara tertulis penghapusan utang.

Sementara itu, para debitur itu sangat kata raya meninggalkan Indonesia dan rakyat yang miskin. "Itu harus ditagih, utang pajak saja ditagih, apalagi Utang BLBI. Jangan hanya pokok, tapi juga bunganya sesuai MSAA dan MRNIA," kata Uchok.

Semua itu, jelasnya, harus dikejar untuk diselesaikan secara hukum, jika perlu menyita hartanya. Langkah yang dilakukan Menteri Keuangan (Menkeu) menatausahakan aset eks BLBI dengan melakukan pengamanan fisik dan yuridis atas sejumlah aset properti dinilai hanya sebagian kecil dari bunganya yang sudah mencapai 300 triliun rupiah, bukan pokoknya. Jika dibandingkan dengan beban yang ditanggung negara akibat penerbitan obligasi tersebut tidak adil karena sudah mencapai sekitar 4.000 triliun rupiah.

Kemenkeu, tambah Uchok, semestinya bisa menagih piutang BLBI itu melalui Badan Urusan Piutang Negara. Penegak hukum seperti KPK bisa membantu apalagi tiga pimpinan terdahulu sudah berjanji akan menagih.

"Debitur BLBI itu konglomerat, menurut Forbes, 40 persen kekayaan negara dia kuasai. Kenapa tidak ditagih, padahal negara lagi membutuhkan makan, lucunya malah diajak berteman," katanya.

Kalau penagihan tidak dilakukan, dia khawatir akan mengganggu kepercayaan investor terhadap Indonesia dalam melakukan penegakan hukum. Investor internasional pasti enggan ke Indonesia kalau hukumnya seperti hukum rimba.

Di AS, katanya, ada UU yang dikenal dengan Foreign Practice Act yang melarang warganya melakukan suap di negara mana pun. Kalau dia menyuap di Indonesia, dia akan dipidanakan.

Dengan aturan seperti itu, investornya mana mungkin mau ke Indonesia.

"Akhirnya, investor yang datang ke Indonesia adalah investor yang mau enaknya saja. Padahal yang kita harapkan adalah investor yang membuka lapangan kerja, transfer teknologi, meningkatkan konten lokal. Tapi investor seperti itu mana mau kalau tidak ada kepastian hukum, keadilan hukum, dan kebenaran hukum. Belum lagi pajak siluman yang tidak dipertanggungjawabkan. Mereka akan memilih Taiwan, Vietnam, dan Thailand yang hukumnya lebih pasti," katanya.

Manfaatkan Momen

Sebelumnya, Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ahmad Maruf, mengatakan di tengah pandemi Covid-19, semestinya pemerintah memanfaatkan jadi momentum untuk melakukan moratorium bunga obligasi rekap BLBI guna meringankan keuangan negara yang sedang tertekan.

"Saat ini ada momentum moratorium. Pertama, bunga BLBI menyedot banyak uang rakyat karena sudah dibayar berlipat-lipat. Kedua, momentum krisis ini menjadikan kita bisa renegosiasi," kata Maruf.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, dalam kesempatan terpisah mengatakan negara sangat memungkinkan menagih sisa piutang ke obligor sesuai perjanjian yang ada sebelumnya.

Dia mengatakan ada kekeliruan dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang menjadi dasar dikeluarkannya SKL bagi debitur, sehingga lalai melunasi kewajibannya.

"Kerugian negara itu, bukan hanya secara materil, tetapi juga mencederai keadilan terhadap rakyat karena para obligor masih hidup dengan bergelimang harta, sedangkan masyarakat yang terdampak," tutupnya. n SB/uyo/ola/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Djati Waluyo, Yolanda Permata Putri Syahtanjung

Komentar

Komentar
()

Top