Picu Berbagai Penyakit, Polusi Udara di Jakarta Semakin Mengkhawatirkan
POLUSI UDARA, WARGA JAKARTA GUNAKAN MASKER LAGI I Sejumlah warga mengenakan masker lagi saat berada di Stasiun KA Manggarai, Jakarta, belum lama ini. Pemerintah mengimbau warga yang beraktivitas di DKI Jakarta untuk mengenakan masker saat beraktivitas di luar ruangan karena polusi udara yang sangat buruk.
Foto: ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA» Penanganan polusi udara perlu skenario sistematis dan jangka panjang, bukan dengan kebijakan sporadis dan temporer.
» Kebijakan ERP juga akan mendorong pergerakan masyarakat beralih ke transportasi publik yang lebih ekonomis.
JAKARTA - Penduduk di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) diimbau mewaspadai bahaya polusi karena berpotensi menimbulkan sejumlah penyakit. Jakarta sendiri dalam beberapa waktu terakhir selalu menjadi kota paling polutif di dunia akibat dikepung PLTU batubara ditambah emisi kendaraan bermotor yang tidak terkendali.
Beban Jakarta pun harus dikurangi dengan menciptakan moda transportasi massal yang memadai serta penerapan jalan berbayar secara elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) yang bertujuan mengurangi jumlah kendaraan di jalan. Selain itu, Pemerintah harus berani dan tegas mengambil langkah dengan memensiunkan lebih dini PLTU Batubara.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa yang diminta pendapatnya mengatakan, dampak polusi udara tidak bisa dianggap sepele, apalagi ada puluhan juta penduduk yang tinggal di wilayah Jabodetabek.
"Dampaknya luar biasa karena kualitas udara Jakarta menjadi buruk sampai menyebabkan kematian, memburuknya kesehatan masyarakat, dan meningkatnya biaya kesehatan,"tegas Fabby.
Penangangan polusi udara di Jakarta katanya harus menyentuh hingga ke akarnya, bukan solusi-solusi temporer. "Artinya pemerintah harus dapat mengidentifikasi sumber polusi dan mengambil kebijakan untuk mengurangi polusi dari sumber-sumber tersebut,"tegas Fabby.
Sumber utama polusi udara di Jakarta menurut Fabby adalah asap kendaraan bermotor dan polusi dari asap PLTU serta industri yang membakar batubara yang ada di sekitar Jakarta. Asap PLTU dari Suralaya dan Lontar menjadi sumber polusi di Jakarta.
Kerugian ekonomi yang terjadi akibat polusi udara Jakarta diperkirakan mencapai 2,9 triliun rupiah per tahun atau 2,2 persen dari PDRB Jakarta.
"Jadi, penangangan polusi udara di Jakarta harus menyentuh hingga ke akarnya, bukan solusi-solusi temporer," tegas Fabby.
Polusi udara di Ibu Kota diperkirakan berkontribusi terhadap tujuh juta kematian dini setiap tahunnya. Hal ini dianggap PBB sebagai satu-satunya risiko kesehatan terbesar.
Status Bencana
Anggota DPRD DKI Jakarta August Hamonangan meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan status polusi udara di Ibu Kota sebagai bencana.
"Jika memungkinkan polusi udara dapat ditetapkan sebagai bencana," kata August dalam Rapat Paripurna DPRD DKI di Jakarta, Rabu.
Sementara itu, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Corie Indria Prasasti, mengatakan pemerintah perlu menyusun regulasi yang ketat terkait polusi udara. "Pemerintah memiliki kewenangan menyusun dan menetapkan regulasi terkait emisi polutan udara dan perlindungan lingkungan," kata Corie kepada Koran Jakarta, Kamis (14/9).
Dia mengatakan, regulasi tersebut termasuk aturan untuk industri, kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan sektor lain yang berkontribusi pada polusi udara.
Langkah lainnya adalah dengan investasi pada infrastruktur ramah lingkungan, mulai dari transportasi umum, inovasi teknologi tepat guna dalam infrastruktur pengolahan limbah, dan fasilitas lain yang membantu mengurangi polusi udara.
Sementara itu, peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi mengatakan tata kota Jakarta masih sangat sentralistis sehingga pergerakan searah terjadi, bisa dilihat di semua jalur KRL, Busway, MRT saat jam berangkat dan pulang kantor pasti penuh sesak, sedangkan jalur sebaliknya lenggang.
Kota-kota mandiri di sekitar Jakarta pun belum mampu mengatasi masalah pembagian ruang produktif yang efektif. Rata-rata hanya menjadi tempat tinggal dan aktivitas leisure saja, sedangkan sentra perkantoran dan industri masih terkonsentrasi di Jakarta sehingga tidak mengubah pola pergerakan para komuter harian.
Pada kesempatan lain, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan polusi udara di Jakarta adalah beban ekonomi yang luar biasa. Selain beban subsidi bahan bakar yang menguap di jalanan, dampaknya juga berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. Biaya kesehatan untuk sejumlah penyakit pernapasan seperti asma, bronkitis, dan infeksi saluran pernapasan lainnya telah meningkat seperti diakui oleh BPJS Kesehatan.
"Kalau terus dibiarkan, ini akan mengakibatkan biaya kesehatan yang lebih tinggi bagi individu maupun sistem perawatan kesehatan secara keseluruhan," kata Aditya.
Polusi juga pasti menurunkan produktivitas pekerja. Sebab peningkatan penyakit yang terkait dengan polusi bisa menyebabkan absensi pekerja yang lebih tinggi dan kinerja yang menurun. Hal ini akan berdampak negatif pada ekonomi, baik melalui penurunan produksi maupun peningkatan biaya tenaga kerja. Pada gilirannya pertumbuhan ekonomi juga akan turun.
Penerapan ERP
Maka menurut Aditya sudah seharusnya pemerintah baik Pemda DKI dan pemerintah pusat mengambil tindakan cepat untuk mengurangi polusi udara dengan mempercepat pensiun dini PLTU Batubara dan transportasi publik yang efisien dan menggantikan sumber energi dengan yang lebih bersih.
"Mulai pertimbangkan juga penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Jakarta yang agresif. Dengan membebankan biaya tambahan pada kendaraan yang melintasi wilayah padat lalu lintas atau pada jam-jam sibuk, ERP mendorong pengguna jalan untuk mencari alternatif transportasi atau waktu perjalanan yang lebih baik. Ini akan mengurangi kemacetan, memperbaiki mobilitas kota, dan mempersingkat waktu perjalanan, yang pada gilirannya akan menguntungkan ekonomi kota," papar Aditya.
Saat ini di Jakarta, 50 persen waktu atau hampir 13 jam dihabiskan di luar rumah, sehingga hubungan dengan keluarga tidak produktif. Kondisi tersebut dibiarkan selama puluhan tahun, karena kepentingan industri otomotif pasti bertentangan dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Penerimaan dari sistem ERP menurut Aditya dapat digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur dan pemeliharaan jalan yang lebih baik. Dengan cara ini, ERP tidak hanya mengurangi kemacetan tetapi juga meningkatkan kualitas jalan dan transportasi umum, yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Kebijakan ERP juga akan mendorong pergerakan masyarakat beralih ke transportasi publik yang lebih ekonomis. Ini akan meningkatkan penggunaan sistem transportasi publik yang ada dan mendorong investasi dalam infrastruktur transportasi publik yang lebih baik. Transportasi publik yang lebih efisien akan membuat akses ke pekerjaan dan layanan lebih mudah bagi penduduk kota, yang pada gilirannya dapat membantu mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
"ERP juga memungkinkan manajemen lalu lintas yang lebih efisien dengan penggunaan teknologi canggih. Ini berarti kota dapat merespons perubahan lalu lintas secara real-time, menghindari kemacetan yang tidak perlu, dan mengoptimalkan penggunaan jalan. Dengan manajemen lalu lintas yang lebih baik, bisnis dapat menghemat biaya logistik dan waktu perjalanan yang berharga," papar Aditya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Muhamad Ma'rup
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 2 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 3 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 4 Sabtu, Harga Pangan Mayoritas Turun, Daging Sapi Rp131.990 per Kg
- 5 Desa-desa di Indonesia Diminta Kembangkan Potensi Lokal