Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Petugas PPSU Juga Manusia

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Selalu saja ada manusia merasa derajatnya lebih tinggi dari orang lain. Padahal pada kenyataannya, semua setara, sama-sama manusia. Kejadian di kali dengan air khas sungai-sungai Jakarta: kotor, hitam, dan bau beberapa hari lalu, sungguh tidak manusiawi.

Betapa tidak, puluhan tenaga honorer dipaksa bermain di air kotor sebagai syarat agar status honorernya sebagai petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) tak diputus alias diangkat lagi. Bayangkan, mentang-mentang hanya pegawai honorer diperlakuksan sangat tidak manusiawi.

Padahal para pegugas PPSU tersebut juga manusia. Artinya, mereka berhak diperlakukan layaknya manusia, bukan seperti perlakuan kayak bukan manusia begitu. Sementara itu, para pejabat tingkat kelurahan yang memelonco para petugas PPSU berdiri mondar-mandir di atas. Gaya mereka layaknya era kolonial memperlakukan warga jajahan.

Mereka seperti amtenar Belanda. Perlakuan calon pekerja di bawah lurah Jelambar, Jakarta Barat, Agung Tri Atmojo, tersebut sangat tidak beradab. Lepas bahwa sang lurah sudah dicopot, namun perlu dipertanyakan bagaimana mungkin manusia memperlakukan sesamanya seperti itu.

Memang lurah dan stafnya lebih tinggi jabatannya, tetapi apakah mereka berhak memperlakukan petugas PPSU seperti itu. Penting menjadi evaluasi bahwa gaya amtenar para pejabat lurah Jelambar ini jelas memperlihatkan atasan yang bergaya bos (bossy). Hal tersebut mencerminkan gaya kepemimpinan "rajawi" di mana atasan ongkang-ongkang kaki, sementara itu, bawahan melayani.

Jadi, tidak ada kepemimpinan yang melayani. Padahal pemimpin yang sejati haruslah pelayan sejati. Ini bisa dikatakan gaya amtenar karena ternyata pelonco semacam itu bukan yang pertama sebagaimana diungkapkan Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi. Dia pun geram dan minta lurah Jelambar, Agung Tri Atmojo, dicopot.

Jadi, pertanyaan lain bagaimana camat, wali kota, atau gubernur Jakarta lengah terhadap pelonco-pelonco yang tak beradab seperti itu. Makanya, perlu dievaluasi segala gaya kepemimpinan di DKI mulai dari lurah, camat, wali kota, dan jika perlu gubernurnya. Jangan sampai kelak gaya seperti itu terulang

Semestinya, pegawai berstatus honorer diperlakukan lebih tinggi dari pegawai tetap karena berstatus honorer saja mereka mau menjalankan tugas berat seperti menyapu jalan dan mungkin juga termasuk membersihkan sungai kotor, hitam, bau, dan pekat yang sekarang menjadi tempat mereka dipelonco.

Sungguh mengerikan perlakukan atasan pada pegawai rendahan. Sudah digaji rendah, status tidak jelas, tetapi pelonconya sangat menjijikkan seperti itu. Apakah pegawai rendahan juga berarti boleh diperlakukan dengan cara apa pun?

Apa yang menjadi latar belakang lurah Jelambar dan stafnya sehingga terjadi penghinaan seperti itu? Sayang Wali Kota Jakarta Barat, Rustam Effendi, ternyata tahu. Namun dia hanya berujar, "Keterlaluan bersenang-senang di situ." Kata Rustam, itu bukan bagian tes, tetapi kegembiraan setelah kontrak diperpanjang. Lalu mengapa wali kota tidak menindak, meski mengetahui.

Semoga saja Pemprov DKI Jakarta ke depan lebih manusiawi memperlakukan pegawainya, meski mereka hanya honorer. Harus ada sanksi di balik staf yang punya ide memelonco di kali tersebut. Sedangkan kepada para korban perlu diberi "uang santunan" sebagai permintaan maaf di Pemprov DKI.

Komentar

Komentar
()

Top