Perubahan Iklim Memaksa Warga Pantura 'Bedol Desa', Program Relokasi Tak Jelas
Warga menanti surutnya rob limpasan kenaikan air laut ke daratan di depan rumahnya di Desa Sidogemah Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah.
Pertama, pengakuan status "pengungsi" bagi para migran iklim baik yang bermigrasi karena guncangan (shock) maupun tekanan (stress).
Keduanya berbeda. Migrasi karena guncangan terjadi secara cepat sebagai respons seseorang terhadap bencana (kerap disebut "pengungsi").
Sementara itu, perpindahan akibat tekanan timbul secara perlahan karena suatu faktor yang secara langsung ataupun tidak langsung mengancam kehidupan seseorang (misalnya kehilangan sumber penghidupan).
Secara formal, para migran iklim yang berpindah perlahan seringkali tidak dipandang sama dengan mereka yang berpindah akibat bencana cepat (guncangan). Padahal, tak mudah menyebut migrasi seseorang ataupun komunitas karena guncangan maupun tekanan. "Berpindah" adalah keputusan yang kompleks.
Fenomena ini juga terlihat pada studi tim BlueUrban di Pekalongan. Bencana hebat yang terjadi pada akhir 2019 memang memaksa banyak warga di Dusun Simonet untuk langsung berpindah. Namun, warga Desa Api-api-berada di sebelah Simonet pun-banyak bermigrasi keluar karena didorong oleh hilangnya penghasilan akibat abrasi.
Untuk mengatasi kerumitan ini, Indonesia dapat mencontoh Argentina. Negara ini mengumumkan komitmen untuk memfasilitasi migrasi yang teratur, aman, dan massal kepada warganya yang terdampak perubahan iklim. Mereka juga memberikan perlindungan sosial bagi "migran iklim" baik dari dalam maupun luar negeri yang belum diakui sebagai pengungsi oleh hukum internasional.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : -
Komentar
()Muat lainnya