Perubahan Dini Moneter Global Bisa Guncang "Emerging Market"
>> Kalau recovery lebih cepat dan inflasi meningkat maka akan ada perubahan siklus kebijakan moneter.
>>Ekonomi AS dan Tiongkok pada triwulan I-2021 masing-masing tumbuh 0,4 dan 18,3 persen, sementara Jepang kontraksi 5,1 persen.
JAKARTA - Pemulihan ekonomi global sangat bergantung pada upaya penanganan kasus pandemi Covid-19 khususnya pelaksanaan vaksinasi dan upaya mengendalikan ancaman mutasi virus baru. Sebab itu, kecepatan vaksinasi di masing-masing negara sangat menentukan dalam pengambilan kebijakan ekonomi baik fiskal maupun moneternya, terutama di negara-negara ekonomi terbesar dunia, seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Uni Eropa, dan Jepang.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, dalam Economic Outlook 2021 di Jakarta, Rabu (19/5), mengatakan di saat krisis akibat pandemi, sangat wajar semua negara menggelontorkan stimulus fiskal dan merelaksasi kebijakan moneter untuk mendorong dunia usaha.
Hal itu juga yang dilakukan AS sebagai negara ekonomi terbesar dunia melalui paket stimulus senilai dua triliun dollar AS dan rencananya akan ditambah lagi pada kuartal IV-2021. Stimulus tersebut salah satunya untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi.
Vaksinasi yang masif itu mendorong ekonomi AS bakal pulih lebih cepat, sehingga kemungkinan berpotensi terjadinya perubahan siklus kebijakan moneter secara global.
Pertumbuhan yang lebih cepat itu, jelas Andry, menimbulkan kekhawatiran tersendiri di pasar keuangan global karena berpotensi terjadi kenaikan inflasi yang cepat di AS. Meskipun Bank Sentral AS, Federal Reserve memastikan kebijakan moneter longgar untuk mengiringi pemulihan ekonomi, namun itu bukan jaminan pasti.
"Tantangannya kalau recovery lebih cepat dan inflasi meningkat maka akan ada perubahan cycle kebijakan moneter yang bisa lebih cepat dari trajectory yang sudah disampaikan The Fed," jelasnya.
Pemulihan ekonomi AS lebih cepat dapat memicu penarikan stimulus moneter yang lebih cepat juga sehingga mengguncang pasar keuangan global termasuk pasar keuangan di negara-negara emerging market seperti Indonesia. "The Fed masih akan mempertahankan suku bunga acuannya di 0,25 persen sampai 2023. Kalau ekonomi AS pulih lebih cepat apa tidak mungkin itu lebih awal lagi," tegasnya.
Andil Positif
Meskipun ada tantangan yang sewaktu-waktu mengancam, pertumbuhan ekonomi di AS dan Tiongkok dinilai akan memberi andil positif pada pemulihan ekonomi Indonesia. Dua ekonomi terbesar dunia itu pada triwulan I-2021 mencatat pertumbuhan positif masing-masing 0,4 persen (yoy) dan 18,3 persen (yoy).
Ekonomi AS tumbuh 0,4 persen (yoy) didukung meningkatnya aktivitas seiring dilonggarkannya restriksi dengan semakin meluasnya distribusi vaksin serta tambahan stimulus yang diperkirakan dapat menopang laju pemulihan ke depan.
Menurut Andry, pertumbuhan ekonomi AS akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia salah satunya melalui ekspor industri manufaktur ke negara tersebut yang akan meningkat.
"Kita bicara top limanya adalah tekstil dan produk tekstil, kemudian ada perikanan dan yang berikutnya adalah rubber dan produk olahannya," jelasnya.
Sementara pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melesat 18,3 persen (yoy) karena Covid-19 terkendali. Hal itu akan meningkatkan ekspor batu bara RI.
Dalam kesempatan yang sama, Head of Macroeconomic & Market Research Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina, memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun ini akan tumbuh di level 4,4 persen dengan asumsi kasus Covid-19 dapat dikendalikan.
Menurut Dian, pemerintah harus mampu menahan laju kasus Covid-19 demi mewujudkan pertumbuhan ekonomi nasional yang positif, meski dalam beberapa waktu ke depan terdapat potensi kenaikan angka kasus akibat libur Lebaran. "Harapannya pemerintah terus memperketat penerapan protokol kesehatan," kata Dian.
Sebelumnya, Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya, Malang, Munawar Ismail, mengatakan krisis akibat Covid-19 masih berdampak pada negara maju seperti Jepang yang baru mengumumkan kontraksi ekonominya 5,1 persen pada triwulan I-2021.
"Meski memiliki kapital yang kuat dan daya saing tinggi, penurunan masih terjadi di Jepang," katanya.
Jepang yang merupakan negara ekonomi terbesar ketiga dunia dan sebagai produsen utama elektronik serta otomotif sangat bergantung pada daya beli di negara-negara pasar produknya.
Redaktur : Muchamad Ismail
Komentar
()Muat lainnya