Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 05 Mar 2025, 01:15 WIB

Pertumbuhan Ekonomi Q1-2025 Diperkirakan Kurang Dari 5 Persen

Salah satu faktor yang menahan pertumbuhan ekonomi adalah menurunnya daya beli masyarakat.

Foto: antara

JAKARTA - Ekonomi Indonesia pada triwulan atau kuartal-1 (Q1) 2025 diperkirakan akan tumbuh di bawah 5 persen atau lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu (year on year) yang tumbuh 5,11 persen.

Lebih rendahnya perkiraan pertumbuhan itu karena menurunnya daya beli masyarakat setelah stimulus ekonomi berkurang khususnya bantuan sosial (Bansos). Bansos pada awal tahun lalu masih banyak yang disalurkan terutama sebelum Pilpres dan Pilkada serentak.

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan bahwa sejak berakhirnya berbagai insentif pemerintah pada 2024, masyarakat mengalami penyesuaian terhadap kondisi ekonomi yang lebih ketat. Dampaknya, belanja rumah tangga yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi.

“Salah satu faktor yang menahan pertumbuhan ekonomi adalah menurunnya daya beli masyarakat. Tahun lalu, pemerintah masih memberikan berbagai stimulus seperti subsidi energi, bantuan sosial, dan insentif pajak. Namun, di awal 2025, insentif tersebut berkurang signifikan, sehingga konsumsi masyarakat melemah,” kata Aditya, Selasa (4/3).

Menurutnya, konsumsi rumah tangga yang biasanya menyumbang lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kini mulai melambat. Sektor ritel dan industri makanan-minuman, yang menjadi indikator utama daya beli, juga menunjukkan perlambatan.

Selain berkurangnya stimulus, faktor lain yang memperlemah daya beli adalah deflasi yang terjadi baru-baru ini serta kebijakan moneter yang cenderung ketat.

“Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,09 persen secara tahunan pada Februari 2025, pertama kalinya sejak Maret 2000. Meskipun deflasi ini sebagian besar dipengaruhi oleh diskon tarif listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan PLN dengan daya 2.200 volt ampere (VA) atau lebih rendah, hal ini juga mencerminkan adanya tekanan pada permintaan domestik,” jelas Aditya.

Meskipun Pemerintah mendorong investasi dan ekspor sebagai penggerak ekonomi, Aditya menilai bahwa kedua sektor itu belum cukup kuat untuk mengimbangi pelemahan konsumsi.

“Investasi masih menghadapi tantangan, terutama dari sisi regulasi dan kepastian hukum. Sementara itu, ekspor juga masih dibayangi oleh perlambatan ekonomi global dan harga komoditas yang fluktuatif,” paparnya.

Pemerintah kata Aditya perlu mencari strategi baru untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan adalah kebijakan fiskal yang lebih fleksibel, seperti insentif pajak bagi sektor usaha tertentu atau stimulus terbatas untuk kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap pelemahan daya beli.

“Jika tidak ada langkah antisipatif, pertumbuhan ekonomi bisa terus melambat di kuartal-kuartal berikutnya. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara kebijakan moneter dan fiskal agar daya beli masyarakat tetap terjaga,” kata Aditya.

Diminta terpisah, Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi mengatakan, melihat Januari hingga Februari memang pertumbuhan relatif lesu, daya beli masyarakat tertekan terutama dengan kenaikan harga bahan pokok dan gas yang sempat langka.

Perhatian Utama

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Freesca Syafitri, mengatakan, tekanan pada konsumsi rumah tangga harus menjadi perhatian utama, mengingat sektor itu menyumbang lebih dari 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Pelemahan rupiah yang menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok akan menggerus daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang memiliki elastisitas konsumsi tinggi terhadap perubahan harga,” kata Freesca.

Bulan Ramadan yang biasanya menjadi momen peningkatan konsumsi dapat berubah menjadi periode pelemahan permintaan domestik jika inflasi terlalu tinggi. Dalam kondisi seperti ini, rumah tangga cenderung mengurangi pengeluaran untuk barang non-esensial dan lebih fokus pada kebutuhan dasar, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Rupiah yang melemah sejak awal tahun dan terus berlanjut hingga periode Ramadan 2025 juga berpotensi menjadi faktor yang mempercepat inflasi, menggerus daya beli, dan memperbesar beban fiskal negara.

“Jika tidak diatasi dengan kebijakan yang tepat dan responsif, dampaknya bisa lebih luas terhadap stabilitas ekonomi nasional. Pemerintah ujarnya perlu memastikan bahwa strategi stabilisasi harga pangan dan energi berjalan efektif, sementara kebijakan moneter tetap selaras dengan upaya menjaga pertumbuhan ekonomi.

“Dengan koordinasi yang kuat antara otoritas fiskal dan moneter, serta kebijakan yang berbasis pada data ekonomi yang akurat, Indonesia dapat meminimalisasi dampak negatif dari pelemahan rupiah dan memastikan bahwa momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga meskipun berada dalam tekanan eksternal yang kuat,” papar Freesca.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.