Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Produktivitas Tenaga Kerja dan Modal Harus Dipacu

Perlu Upaya Luar Biasa agar Lolos "Middle Income Trap"

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan menyatakan pemerintah harus menerapkan upaya luar biasa untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi agar Indonesia terhindar dari perangkap negara berpendapatan menengah atau middle income trap. Sebab, dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi tidak mampu beranjak dari level lima persen. Padahal, sekarang ini Indonesia baru masuk ke kelompok negara berpendapatan menengah-bawah.

Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk, Adrian Panggabean, mengatakan agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap maka pertumbuhan ekonomi harus dipacu ke level tujuh persen dalam 3-5 tahun ke depan. "Indonesia harus mampu tumbuh tujuh persen cuma dengan dua cara," kata Adrian, di Jakarta, Rabu (13/12) Pertama, kata dia, tambahan sumber pembiayaan pembangunan harus tersedia antara 6-8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) untuk membangun infrastruktur ekonomi, sosial, dan bisnis.

Tambahan pendanaan sebanyak itu hanya bisa diperoleh lewat peningkatan rasio pajak dari 11 persen ke 14 persen terhadap PDB. Selain itu, peningkatan aliran Foreign Direct Investment (FDI) atau penanaman modal asing langsung dari rata-rata tiga persen saat ini menjadi lima persen terhadap PDB. Kemudian, penurunan suku bunga sehingga loan growth bisa naik rerata 15 persen per tahun dari sekarang yang cuma 7-10 persen.

"Yang tak kalah penting adalah mekanisme public private partnership agar keikutsertaan swasta dalam pembangunan infrastruktur semakin besar. Dan, peningkatan savings rate masyarakat lewat penciptaan dana pensiun yang jauh lebih efektif," kata Adrian. Kedua, imbuh dia, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan modal. Apabila, laju produktivitas Indonesia bisa naik dari di bawah satu persen saat ini ke arah 3-5 persen persen, maka akan mampu menambah laju pertumbuhan ekonomi.

"Butuh kerja keras. Butuh penggalangan semua skills yang ada, jangan tergantung sama skills yang itu-itu saja," kata Adrian. Kuncinya, menurut dia, dalam lima tahun ke depan, supply infrastruktur harus lebih banyak karena hanya infrastruktur yang bisa menciptakan tambahan supply barang dan jasa dengan tingkat inflasi lebih rendah.

Butuh Terobosan

Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, YS Susilo, mengatakan untuk mempercepat pertumbuhan harus dengan perbaikan dan optimalisasi sistem pengelolaan negara, termasuk dengan langkah terobosan. "Presiden Jokowi sudah memilih infrastruktur sebagai terobosan utama.

Namun, di tengah pelemahan ekonomi dunia, infrastruktur harus mulai menghitung risiko utang yang digunakan untuk menggenjot percepatannya. Infrastruktur harus melihat skala prioritas sesuai dengan visi ekonomi yang dipilih untuk mempercepat pertumbuhan," papar dia. Menurut dia, ada dua pilihan utama sebagai prioritas perekonomian nasional, yakni agroindustri dan ekonomi kreatif termasuk pariwisata.

"Sayangnya hilirisasi di pertanian tidak pernah terjadi. Sebaliknya pelaku utama pertanian yakni para petani tradisional justru terus dirugikan oleh mafia pangan yang menguasai rantai perdagangan dan impor," ungkap Susilo. Menurut dia, masalah utama di pertanian adalah panjangnya rantai perdagangan sehingga jika terjadi kenaikan harga di pasar petani tidak untung.

Padahal, jika harga naik, negara segera mengambil jalan pintas dengan membukan keran impor sehingga harga di petani makin jatuh, bahkan sering tidak bisa dijual karena tidak ada nilainya, atau kalah dengan produk impor. "Artinya, perlu terobosan sungguh-sungguh di rantai pasokan ini. Masak negara kalah sama mafia?

Semua kekuatan negara mesti dikerahkan untuk mengubah rantai pasokan pangan sehingga petani untung. Begitu juga di skala industri pertanian besar, beri insentif pada industriawan pertanian Tanah Air, jangan malah mempermudah impor," tukas Susilo. Sebelumnya, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Adriyanto, mengatakan rendahnya lompatan pertumbuhan ekonomi disebabkan Indonesia masih bergantung pada komoditas.

bud/YK/SB/WP

Penulis : Vitto Budi, Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top