Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pangan - Pemerintah Pakai Gula Rafinasi untuk Stabilisasi Harga

Perlu Tarif Tinggi Impor Gula untuk Lindungi Petani Nasional

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah semestinya menerapkan tarif bea masuk impor komoditas pangan yang relatif tinggi guna melindungi petani nasional. Penerapan tarif impor untuk gula, misalnya, bisa menjadi solusi mendorong pengembangan perkebunan tebu dan perbaikan ekonomi petani tebu di dalam negeri.

Oleh karena itu, dibutuhkan niat baik dari pemerintah untuk mengutamakan pengembangan komoditas pertanian dalam negeri. Pengamat ekonomi, Faisal Basri, mengemukakan hal itu di Jakarta, Senin (14/1). Menurut dia, pemerintah sebenarnya bisa menerapkan tarif impor relatif tinggi agar ada upaya untuk pembenihan, restrukturisasi pabrik, dan meningkatkan rendemen.

Akan tetapi, imbuh Faisal, pemerintah justru condong mencari opsi jangka pendek dengan melakukan impor daripada melakukan pembenahan dan membantu petani. Padahal, pengembangan sektor produksi perkebunan juga harus didorong. "Diperlukan peningkatan luas areal perkebunan dan upaya meningkatkan produktivitas usaha tani," jelas dia.

Faisal menambahkan dengan memberikan asistensi pada petani tebu, diharapkan hasil rendeman gula bisa meningkat, kualitas dan harga jadi bersaing, dan otomatis meningkatkan minat perkebunan sektor itu. Ekonom senior itu juga menyoroti kebergantungan impor gula yang sangat tinggi. Bahkan, ungkap Faisal, saat ini Indonesia sudah menjadi importir gula terbesar di dunia.

"Saya kaget, Indonesia sudah jadi importir terbesar di dunia, sebelumnya kan nggak terbesar. Kita sudah lampui Tiongkok dan AS (Amerika Serikat)," papar dia. Berdasarkan data Statista, Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gula terbesar di dunia periode 2017-2018 dengan volume sebanyak 4,45 juta ton.

Sedangkan Tiongkok menjadi importir gula terbesar kedua dengan volume 4,2 juta ton, diikuti AS di urutan ketiga dengan volume impor 3,11 juta ton. Lonjakan impor gula, lanjut Faisal, terjadi sejak 2009 dan meroket pada 2016. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan peningkatan impor gula Indonesia terjadi secara konsisten sejak era pemerintahan sebelumnya.

Sebab, menurut dia, pada saat itu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menghamburkan izin impor gula rafinasi. Sementara itu, produksi gula dalam negeri saat ini stagnan. Memang, gula yang diimpor Indonesia adalah gula rafinasi untuk kebutuhan industri makanan dan minuman. Namun, gula rafinasi itu sering kali merembes ke pasar untuk kebutuhan gula konsumsi.

"Gula rafinasi menurut ketentuan tidak boleh dipasarkan untuk gula konsumsi, hanya boleh diizinkan impor raw sudah untuk dipakai industri makanan dan minuman (mamin). Industri mamin pemain dunia, mereka tahu harga gula, mereka nggak mau dikadali, kontraknya jangka panjang," tutur Faisal. "Impor 4,6 juta ton (2018), kebutuhan hanya 3 juta ton.

Selebihnya? Mengalir ke pasar untuk gula konsumsi. Pemerintah menggunakan untuk stabilitas harga di pasar. Padahal sebelumnya, pemerintah mengatakan gula rafinasi tidak boleh dipasarkan karena tidak baik bagi kesehatan, sekarang pemerintah pakai gula rafinasi untuk stabilisasi harga," tukas Faisal.

Bisa Dihentikan

Dia pun menyatakan impor gula seharusnya bisa dihentikan dengan peningkatan produksi gula rafinasi di dalam negeri. Namun, Faisal menilai pemerintah secara sengaja menghambat peningkatan produksi gula di dalam negeri. "Kalau Anda lihat, pemerintah kasih izinnya di daerah yang nggak mungkin tanam tebu, Cilegon, Banten, kecuali Cilacap.

Deli Serdang nggak ada tanaman tebu, Makassar nggak juga. Inilah kacaunya pemerintah, jadi sepenuhnya bisa dikatakan gula rafinasi ini stempel untuk berburu rente, menikmati selisih yang sangat besar antara gula Indonesia dan gula dunia," tutur Faisal. "Berburu rente menikmati tanpa berkeringat, free rider, penunggang percuma, itu yang harus kita perangi," tegas dia.

Sementara itu, ekonom Indef, Ahmad Heri Firdaus, menilai keputusan pemerintah untuk mengimpor gula hanya membuang- buang devisa Indonesia. "Impor setiap tahun terus meningkat, tapi ekspor tidak kelihatan. Dampaknya defisit perdagangan kita membesar," kata Heri. Menurut data BPS, pada Januari-November 2018, impor gula mencapai 4,6 juta ton.

Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan impor tahun sebelumnya sebesar 4,48 juta ton. Heri menegaskan untuk mengatasi karutmarut pergulaan di Indonesia, pemerintah harus menyusun neraca gula yang akurat untuk memastikan ketersediaan dan kebutuhan yang ada. "Keberadaan neraca ini diharapkan bisa menjadi instrumen untuk mengelola pasokan dalam rangka meredam gejolak fluktuasi harga gula," imbuh dia.

ahm/WP

Komentar

Komentar
()

Top