Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Energi

Perlu "Political Will" yang Berpihak Energi Bersih

Foto : ANTARA/DIDIK SUHARTONO

INOVASI MAHASISWA - Tiga orang mahasiswa memperagakan inovasi pembangkit listrik yang diberi nama Raja Singa, di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Senin (15/7). Inovasi pembangkit listrik itu memanfaatkan tenaga sinar matahari, hujan, bising, dan tekanan.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kebijakan energi nasional yang selama ini dinilai timpang atau berat sebelah karena hanya menitikberatkan pada penggunaan energi fosil, tidak bisa terus dibiarkan. Selain berpotensi membuat defisit neraca perdagangan makin lebar, kebergantungan pada energi fosil juga membuat Indonesia akan jauh tertinggal dengan negara lain dalam pengembangan energi bersih atau Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Hal ini pada akhirnya akan membuat Indonesia, yang kini net importer minyak, menjadi pengimpor energi dari negara lain. Padahal, sumber EBT di Tanah Air begitu melimpah, seperti tenaga surya, panas bumi, dan tenaga angin.

"Artinya, memang butuh ketegasan dari Presiden mengenai arah masa depan energi nasional. Political will yang berpihak pada masa depan Indonesia dengan energi bersih akan membuat negara dan politik mandiri dari tekanan kepentingan para pemain energi fosil," kata peneliti Indef, Bhima Yudhistira, di Jakarta, Senin (15/7).

Menurut dia, kegagalan Indonesia untuk mengakselerasi penggunaan EBT seperti negara-negara maju, bahkan terancam gagal mengejar target bauran energi 23 persen pada 2025-- saat ini baru 8 persen--karena negara terlalu lama tersandera oleh pemain energi fosil.

Kampanye maupun pembiayaan politik, ujar Bhima, masih saja bergantung kepada para pemain energi fosil sehingga melahirkan kebijakan energi yang timpang dan hanya menguntungkan para pemain energi fosil.

Bhima memaparkan salah satu solusi penting dalam pengembangan EBT terletak pada inisiatif pemerintah dalam menjemput bola, memberikan insentif pada perusahaan pengembang EBT. Sebab, setiap perusahaan berbeda kebutuhannya, dan tidak semua menginginkan tax holiday dan tax allowance.

"Dengan jemput bola, masing-masing pengembang mendapatkan kebutuhan mereka dan bisa bersaing dengan pengembang serupa di seluruh belahan dunia," tukas dia.

Terobosan Singapura

Sebelumnya dikabarkan, Singapura bersedia menarik kabel di bawah laut sepanjang 4.000 kilometer (km) untuk menyalurkan listrik tenaga surya dari pembangkit di Australia. Proyek pengelolaan EBT dari tenaga matahari tersebut dinilai tetap lebih murah dan semakin lebih murah dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Singapura.

Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi, Dwi Sawung, menilai sangat ironis, Indonesia yang memiliki banyak sumber EBT tidak bisa melakukan hal tersebut.

"Kita dihambat oleh Kementerian ESDM yang membuat peraturan, yang memaksa tarif pembelian EBT di bawah biaya produksi. Sedangkan untuk batu bara, harga beli bisa floating price. Memang akan sulit kalau pejabat kita punya kepentingan sesaat untuk kelompok maupun pribadi," tukas dia, Minggu (14/7). YK/ers/WP

Penulis : Eko S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top