Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Kesehatan

Perlu Edukasi Masif soal Kesehatan Reproduksi

Foto : antara

Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina menilai pemerintah perlu memberikan edukasi yang masif kepada masyarakat, terutama generasi muda mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang aman.

"Komisi IX DPR mendorong pemerintah dan masyarakat untuk terus meningkatkan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang aman," kata Arzeti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (13/8).

Menurutnya, hal tersebut bernilai penting untuk dilakukan karena remaja, terutama perempuan usia 15-19 tahun lebih rentan terkena risiko penyakit dan konsekuensi jika melakukan hubungan seksual di usia dini.

Lebih lanjut, dia menilai pendidikan kesehatan reproduksi bisa diberikan oleh pemerintah di lingkungan pendidikan formal. Tentunya, materi yang diberikan harus disesuaikan dengan usia dan jenjang pendidikan siswa.

Bahkan, dia menambahkan apabila diperlukan, pendidikan reproduksi semakin dioptimalkan di lingkungan pendidikan formal, seperti sekolah. Hal itu dapat membuat remaja Indonesia lebih memahami risiko jika melakukan hubungan seksual di usia dini.

"Sebaiknya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Selain bertentangan dengan norma dan agama, dampak kesehatannya juga sangat signifikan, terutama bagi perempuan," kata dia.

Arzeti juga menyoroti data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang pernikahan dini.

Ia menyampaikan bahwa tren pernikahan dini di Tanah Air sejauh ini mengalami penurunan, dari 40 dari 1.000 remaja perempuan, menjadi 26 dari 1.000 remaja perempuan.

Namun, kata dia, angka tersebut berbanding terbalik dengan tren hubungan seksual remaja di Indonesia.

"Menurut data terbaru dari BKKBN, itu meningkat tajam. Tercatat lebih dari 50 persen remaja perempuan yang melakukan hubungan seksual di usia 15 hingga 19 tahun. Sementara itu, pada laki-laki angkanya lebih tinggi, yakni di atas 70 persen," kata Arzeti.

Dia memandang hal tersebut menjadi tantangan baru yang perlu segera diatasi oleh pemerintah dan para pihak terkait lainnya.

Ia menilai kampanye no sex sebelum menikah harus semakin digalakkan. "Selain itu, peran sekolah dan orang tua dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak juga harus dimaksimalkan," ujarnya.

Sementara itu, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan masih mengkaji implementasi penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan.

"Kita belum berani bertindak. Artinya itu masih kita kaji, tidak kemudian serta-merta (diterapkan)," kata Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya saat dihubungi di Yogyakarta, Senin.

Didik menuturkan kajian terkait implementasi PP yang diteken Presiden Joko Widodo tersebut bakal melibatkan instansi terkait meliputi Dinas Kesehatan DIY serta Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY.

Melalui kajian tersebut, dia berharap muncul formula maupun aturan turunan yang lebih mendetail untuk diterapkan di sekolah-sekolah. "Nanti di tingkat daerah tentunya ada aturan yang lebih detail. Kita perlu koordinasi dengan berbagai pihak, dengan dinas kesehatan, dengan DP3AP2 terkait perlindungan anak dan perempuan," kata dia.

Menurut Didik, implementasi PP Nomor 28 Tahun 2024 tidak sebatas soal penyediaan alat kontrasepsi semata. Lebih dari itu, aturan tersebut menekankan pemberian konsultasi, informasi, dan edukasi yang memadai terkait kesehatan reproduksi bagi siswa.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

PP itu antara lain mengatur mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja. Pasal 103 ayat (1) PP itu menyebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.

Kemudian, ayat (4) menyatakan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja, paling sedikit terdiri atas deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.Ant/S-2


Redaktur : Sriyono
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top