Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERADA

Perjuangan Wanita Menentang Eksploitasi Tambang

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Film Sexy Killers hangat dibicarakan karena mengungkap perusakan alam besar-besaran akibat eksploitasi batu bara untuk pembangkit listrik. Di Kalimantan Timur saja terdapat 360 lubang besar bekas galian batu bara yang ditinggal begitu saja. Banyak warga tewas gara-gara lubang raksasa tersebut.

Tak ada yang salah dengan penambangan karena memang menjadi kebutuhan primer masyarakat. Penambangan hanya mengubah bentangan permukaan bumi. Penambangan menjadi masalah bila tidak mematuhi aturan. Misalnya, tidak mereklamasi bekas lubang tambang, jarak penambangan dengan permukiman kurang dari 500 meter dan sebagainya.

Sebenarnya, selain eksploitasi batu bara yang jumlahnya tertinggi, buku ini mencatat enam eksploitasi alam yang meliputi bauksit, nikel, emas, perak, granit, pasir besi, dan sebagainya. Korporasi tambang tentu mendulang banyak keuntungan. Hal ini berbeda dengan masyarakat sekitar yang sebagian besar dirugikan akibat ekosistem lingkungan jadi rusak parah.

Buku ini fokus pada gerakan perempuan yang menentang korporasi pertambangan di Desa Penago Baru, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dan Desa Praikaroku Jangga, Kabupaten Sumba Tengah NTT. Selama ini gerakan perempuan dalam konteks tersebut tidak tampak. Suara mereka tidak memiliki saluran ekspresi.

Dengan menerapkan etnografi feminis, tuturan perempuan berdasarkan pengalamannya sebagai situated knowledge. "Keterlibatan perempuan dalam perlawanan eksploitasi tambang bermotif mempertahankan kelestarian lingkungan di desanya, adat, identitas desa, serta kehidupan sekitar," (hlm 9).

Hasil riset di dua desa tersebut menunjukkan, beberapa fakta bahwa perempuan sebenarnya sejak awal ikut berjuang bersama kaum laki-laki. Begitu kaum pria banyak dikriminalisasi, perjuangan perempuan terus berjalan dan mulai tampak di permukaan. Pertambangan selalu kebetulan berada di daerah miskin (hlm 11).

Korporasi biasanya pegang surat Izin Usaha Produksi. Surat-surat itu oleh otoritas desa dan kabupaten dipergunakan untuk meredam gejolak masyarakat. Korporasi juga menggunakan sebagian warga desa untuk membantu proyek tambang dengan iming-iming upah besar. Warga yang masuk korporasi kemudian menjadi benteng perlawanan terhadap warga yang tak setuju.

Sepanjang konflik sosial terkait tambang, persoalan tak mudah usai walaupun pertambangan telah dicabut hak operasinya. Warga desa yang pro tambang dan warga antitambang tidak kembali harmonis. Ia akan menjadi konflik saat ada faktor penyebab sepele.

Jika ditelusuri lebih jauh, ketidakpatuhan korporasi tambang terhadap aturan akibat kurang tegasnya pemerintah memeriksa kelayakan proses penambangan dan menindak para korporasi yang tak mereklamasi. Ambisi para pengusaha tambang juga didukung kesepakatan global tentang rencana kawasan pertambangan yang makin luas.

Buku ini menjelaskan, perjuangan perempuan bergerak menggunakan identitas agama dan etnisitas. Misalnya, perempuan adat Molo, NTT, melawan perusahaan marmer PT Goldman Enviromental Prize yang dipelopori Mama Aleta Baun. Caranya menenun di area tambang. Kaum perempuan NTT kadang juga memprotes dengan cara mengadakan Misa di lokasi tambang bersama LSM Aliansi Rakyat Peduli Lingkungan (hlm 22).

Walau akhirnya pengalaman masyarakat di dua desa lokasi studi yang berkonflik dengan korporasi tambang bisa menghentikan operasi tambang, hal itu bukan suatu kemenangan atas pengakuan kerentanan lingkungan hidup.

Operasi tambang berhenti karena korporasi ingin melindungi kerugian kapitalnya. Kendatipun perlawanan perempuan tidak sefrontal kaum pria, perjuangan mereka terbukti efektif. Mereka berjuang dengan cara khas wanita.

Diresensi Asnawi Susanto, Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Komentar

Komentar
()

Top