Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Perjalanan Reformasi Agraria

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

OLEH M TADUNG

Beberapa bulan terakhir reforma agraria kembali berdengung. Ini menarik terutama bagi petani dan buruh tani. Namun demikian, masyarakat yang membutuhkan hak atas tanah (hak milik, hak pakai, HGB, dan lain sebagainya) turut menantikan harapan. Presiden Joko Widodo minta sertifikasi dipercepat.

Masyarakat bertanya akankah reformasi agrarian terwujud? Sebab perjalanannya cukup panjang sebagai perintah UUD 45 Pasal 33 Ayat 3. Bunyinya, "Bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."

Langkah awal sebagai bagian reforma agraria di era Bung Karno melalui UU No 29 Tahun 1958 tentang peraturan-peraturan/tindakan-tindakan mengenai tanah perkebunan. Intinya perkebunan telantar atau tidak mungkin lagi diusahakan, diambil negara. Lebih tegas pada tahun 1958 dilaksanakan nasionalisasi perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda melalui PP No 24 Tahun 1958.

Puncak reforma agraria sesungguhnya melalui UU PA No 5 Tahun 1960 24 September 1960. UU PA ini memuat secara luas peraturan dasar pokok-pokok agraria. Sangat jelas muatannya mengenai hak-hak atas tanah dan luas minimum atas usaha pertanian rakyat dan luas maksimum yang dapat dimiliki seseorang.

Kemudian, keluar UU No 56 PRP Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian land reform. Intinya sama dengan reforma agrarian, penataan pemilikan tanah. Di era Orde Baru land reform tidak didengungkan, namun Presiden Soeharto dapat dikatakan telah mewujudkan secara nyata. Program transmigrasi dengan pemberian tanah pertanian minimal dua hektare dan pekarangan 0,5 hektare dilengkapi sertifikat hak milik (SHM).

Program PIR perkebunan baik transmigran maupun penduduk lokal diberi tanah seluas tiga hektare (kebun dua hektare, lahan pangan 0,75 hektare dan pekarangan 0,25 hektare). Begitu pun sertifikasi usaha perkebunan rakyat melalui proyek-proyek lainnya.

Di Era Reformasi juga telah diambil langkah reforma agraria, namun tidak dilaksanakan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pada hari peringatan UUPA setiap September, akan ada "ratusan ribu" hektare lahan dibagikan. Tapi, semua terbatas seremonial, tidak ada tindak lanjut.

Pembagian sertifikat era Joko Widodo mungkin saja untuk lahan yang telah dikuasai sebelumnya. Sertifikat memang penting sebagai wujud kepastian hak atas tanah, namun lebih utama realisasi UUPA dan land reform yang sekarang disebut reforma agraria.

Memang banyak kendala, di antaranya tanah negara sudah hampir tidak ada lagi, banyak dikuasai pengusaha sudah ditempati masyarakat. Pengusaha yang menguasai lahan HGU tidak difungsikan sesuai dengan rencana, mungkin jadi tempat rekreasi atau telantar.

Seharusnya dapat dicabut, peraturan cukup banyak. Pencabutan HGU "telantar" menjadi wewenang Menteri Pertanian dan Menteri Negara ATR/ Kepala BPN. Sekian lama peraturan, namun belum ada pencabutan. Peluang lahan yang mungkin ada pada areal hutan yang dapat di konversi. Tetapi ini pun sepertinya nihil karena telah dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan. Yang menarik telah terbit pengaturan luas maksimum lahan yang dapat dikuasai pemodal dalam setiap bidang atau jenis usaha.

Itu bisa dilihat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 2 Tahun 1999 Pasal 4. Kepala BPN yang mengeluarkan peraturan, namun mereka juga yang melanggar dengan menerbitkan HGU di luar peraturan tersebut. Yang paling mencolok para pengusaha atau group perkebunan kelapa sawit menguasai areal sampai ratusan ribu hektare.

Pemberian sertifikat atas tanah permukiman maupun pertanian dambaan setiap orang. Sayang, BPN tidak dapat mendukung sepenuhnya. Kendala utama sertifikasi dan waktu penerbitan sertifikat. Proses sertifikasi berbelit-belit di BPN. Tanah yang dimiliki melalui Akta Jual Beli (AJB) di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak dapat menjadi dokumen penerbitan sertifikat. Ini masih harus kembali ke lurah/desa, pemilik lama, dan lain-lain. Kemudian minta dokumen-dokumen tanah tersebut yang sebenarnya telah menjadi dokumen pembuatan AJB di PPAT.

PPAT diuji dan diangkat Menag ATR/Kepala BPN, namun AJB yang dikeluarkan tidak cukup untuk penerbitan sertifikat. Prosedur ini menjadi peluang pungutan liar. Salah satu desa di Kabupaten Bogor menarik 3.000 per meter persegi dari urusan keterangan tanah.

Penerbitan sertifikat di kantor BPN paling cepat enam bulan setelah seluruh dokumen dipenuhi. Di Kabupaten Bogor ada yang tahunan. Kalau demikian perintah Presiden Jokowi untuk mempercepat sertifikat tidak jelas jangka waktunya. Di BPN paling cepat enam bulan. Mungkin bila Presiden akan menyerahkan sertifikat, bisa jadi hanya sepekan selesai.

Perlu Lahan

Di BPN walaupun sudah membayar biaya pengukuran sesuai ketetapan, namun juru ukur kadang-kadang ada yang masih minta biaya 1.000.000 rupiah per kavling/persil perumahan. Sertifikat memang sangat didambakan masyarakat. Namun sesungguhnya yang sangat diperlukan adalah lahan untuk tempat usaha terutama para buruh tani, pekebun, peternak, dan usaha lainnya.

Karena itu, reformasi agraria ini mesti mampu menata ulang kepemilikan khususnya bidang perkebunan kelapa sawit. Kepemilikan ratusan ribu hektare lahan dari beberapa korporasi besar yang telah menyimpang dari UUPA dan land reform.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No 2 Tahun 1999 sebagai produk awal Era Reformasi. Pada sisi lain, kepemilikan lahan yang berlebihan ibarat api dalam sekam. Masalah sosial mendatang tidak akan dapat dihindari saat masa HGU habis waktunya dan penduduk makin bertambah.

Belajar atas HGU PTPN VII di Gunung Mas dan Cikopo Selatan. Awalnya dibangun jauh dari masyarakat. Yang terjadi sekarang sebagian telah diokupasi masyarakat dengan modus tanah mereka alias tanah adat.

Pemerintah perlu antisipasi. Para buruh perkebunan yang juga masyarakat sekitar perkebunan sangat membutuhkan lahan. Area perkebunan yang luas mestinya didistribusikan. Bangun kemitraan melalui koperasi mereka dengan pengusaha. Investasi dapat dikembalikan penerima lahan seperti halnya pembiayaan program pola PIR. Dengan demikian, akan terjalin interaksi sosial dan ekonomi untuk kelangsungan usaha-usaha perkebunan besar.

Seharusnya reforma agraria di samping distribusi lahan kepada petani atau masyarakat juga disertai pemberian hak atas tanah. Hal ini tidak mungkin dilakukan pada areal hutan. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk tambah sulit mengendalikan pemakai lahan hutan.

Reformasi agraria hanya dapat diwujudkan manakala pemerintah fokus untuk mengevaluasi dan melaksanakan perundang-undangan dan peraturan tentang kepemilikan luas maksimum atas lahan. Penataan kembali lahan yang telah dikuasai secara berlebihan para pengusaha khususnya di perkebunan kelapa sawit, pengembangan perumahan dan perhotelan.

Begitu pula pemberian hak atas tanah, BPN harus siap mengoreksi mekanisme dan prosedur serta waktu penyelesaian sertifikat. Percepatan sertifikat dan penghapusan pungli telah menjadi perintah presiden. BPN harus membuktikan komitmennya, tidak hanya wacana atau slogan reformasi agraria dengan jutaan hektare.

Penulis mantan Direktur Bina Usaha/Pengolahan Perkebunan

Komentar

Komentar
()

Top