Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ancaman Krisis Energi - Defisit Energi Bakal Capai 80 Miliar Dollar AS pada 2040

Percepat Pembangunan EBT

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan mengemukakan pemerintah mesti berkomitmen kuat mempercepat pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk menambah pasokan energi nasional. Ini diperlukan untuk menghindarkan Indonesia dari defisit energi akibat pertumbuhan konsumsi yang tidak diimbangi oleh peningkatan pasokan yang memadai.

Salah satu kebijakan yang dinilai bisa merangsang minat investasi pada EBT adalah kebijakan tarif yang kondusif. Sebab, selama ini pengembangan energi bersih itu terganjal oleh penetapan harga beli yang berada di bawah biaya produksi sehingga merugikan investor.

Rektor ITS Surabaya, Mochamad Ashari, mengatakan pemerintah dapat melakukan terobosoan kebijakan untuk membantu percepatan adopsi EBT tanpa merugikan PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero). Terobosan tersebut berupa skema baru subsidi dan mengembangkan industri manufaktur pendukung sektor EBT.

"Sedangkan kondisi saat ini saja, PLN sudah kerepotan dalam operasionalnya. Maka perlu ada instrumen lain untuk menggenjot EBT, seperti seperti skema baru subsidi," ujar dia, ketika dihubungi, Senin (29/7). Pemerintah, lanjut Ashari, memberikan subsidi ke sektor EBT bukan dalam bentuk tarif jual yang pada akhirnya dibebankan ke PLN, tetapi dalam bentuk seperti subsidi harga beli perangkat EBT, dan kebutuhan pendukung lainnya.

Selain itu, pemerintah juga dapat menstimulasi pembangunan industri manufaktur perangkat EBT di dalam negeri, seperti solar sel dan baterai, dengan berbagai kelonggaran dan insentif sehingga harga produksi EBT dapat menjadi lebih murah.

Terkait kebijakan tarif yang menarik, untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) harga pembelian listrik oleh PLN sebesar 13,35 cent dollar AS per kilowatt hour (kWh) dinilai cukup kondusif bagi pengusaha untuk membangun di setiap kota. Di sisi lain, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), harga pembelian telah diturunkan menjadi enam cent dollar AS dari semula 13 cent dollar AS per kwh.

Tarif ini dianggap tidak kondusif karena berada di bawah biaya produksi. Harga listrik tenaga surya paling tidak 11 cent dollar AS per kwh. Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan, mengemukakan penurunan harga pembelian untuk PLTS tentunya sangat memberatkan investor karena harga lebih rendah dari biaya produksi.

"Ini yang membuat investor enggan masuk ke PLTS, dan membuat pengembangan EBT di Indonesia kurang pesat. Akibatnya, target bauran energi 2025 sebesar 23 persen kemungkinan besar tidak tercapai," tegas Mamit, belum lama ini.

Iklim investasi yang kurang kondusif menyebabkan realisasi potensi EBT masih sangat minim. Data Kementerian ESDM menunjukkan dari potensi energi terbarukan Indonesia 2018 sebesar 422,4 gigawatt (GW) baru terealisasi dua persen atau 9,4 GW.

Waspadai Defisit

Sebelumnya, ekonom senior Indef, Faisal Basri, mengingatkan agar Indonesia mewaspadai defisit energi yang diperkirakan sudah di depan mata. Laju defisit energi akan semakin cepat jika tidak ada upaya untuk menahannya. Bahkan, defisit energi bisa mencapai 80 miliar dollar AS atau tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2040.

"Mulai 2021 diperkirakan kita sudah mengalami defisit energi. Defisit energi akan mengakselerasi jika kita tidak melakukan apa-apa," ujar Faisal, Minggu (28/7). Defisit itu disebabkan dua faktor. Pertama, pertumbuhan konsumsi energi cukup tinggi, mencapai 4,9 persen tahun lalu dengan pertumbuhan penduduk masih di atas satu persen.

Kedua, produksi energi, terutama minyak dan gas (migas), turun secara konsisten. Menurut Faisal, saat ini neraca energi Indonesia masih surplus karena ditolong batu bara. Tahun lalu, ekspor batu bara mencapai 20,6 miliar dollar AS, sehingga transaksi energi secara keseluruhan masih surplus 8,2 miliar dollar AS.

Namun, khusus di sektor migas, neracanya defisit sejak 2012. "Sejak 2013, kita mengalami defisit minyak mentah. Artinya sejak 2013, impor minyak mentah lebih besar dari ekspor minyak mentah," papar Faisal.

SB/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top