Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Industri Jasa Keuangan I Direksi Bank BUMN yang Pro Bunga Tinggi Sebaiknya Diganti

Perbankan Masih Enggan Turunkan Marjin Bunga

Foto : Sumber: OJK - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sindiran berkali-kali dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada para direksi bank-bank BUMN dan swasta nasional untuk menurunkan marjin bunga bersih atau net interest margin/NIM sepertinya tidak pernah mereka gubris.

Bahkan, jika melihat tren suku bunga maka bunga simpanan naiknya lamban, sedangkan suku bunga kredit kenaikannya cepat dan signifikan. Hal itu berarti, para direksi bank semakin membuat marjin lebih lebar untuk memacu keuntungan.

Bank Indonesia (BI) mencatat per Juli 2023, suku bunga deposito 1 bulan berada di level 4,18 persen, sedangkan suku bunga kredit 9,35 persen atau terdapat marjin atau selisih sekitar 5,17 persen.

Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, di Jakarta, Kamis (24/8), mengatakan enggannya bank menurunkan marjin karena target profit atau laba yang ditetapkan direksi terlalu tinggi.

"Sah-sah saja mereka menargetkan pertumbuhan profit yang tinggi, tapi jangan sampai mengorbankan perekonomian nasional karena bank sebagai jantung perekonomian tidak optimal memacu kegiatan produktif," kata Siprianus.

Selain itu, para jajaran manajemen di bank, baik direksi maupun komisaris, secara tidak langsung banyak diuntungkan secara pribadi dari tingkat marjin tinggi tersebut karena otomatis mereka menerima tantiem dan bonus yang besar pula kalau laba banknya besar.

"Gaji direksi itu tidak seberapa dibanding tantiem yang diperoleh, apalagi kalau bank-bank BUMN papan atas seperti Bank Mandiri dan BRI, bisa miliaran rupiah per tahun," kata Siprianus.

Kalau pemerintah benar-benar ingin memacu pembiayaan ke sektor produktif, seharusnya pembiayaan yang didominasi bank-bank BUMN itu, direksi dan komisarisnya dijabat figur-figur yang punya komitemen mendukung perekonomian nasional dengan menurunkan marjin bunga.

"Presiden bisa memerintahkan Menteri Keuangan dan Menteri BUMN mengganti direksi-direksi yang pro bunga tinggi dan mengganti dengan yang punya niat menawarkan bunga rendah. Pasti banyak kandidat yang mau dan layak. Jangan mempertahankan yang itu-itu saja hanya sebatas komitmen, tanpa tindak lanjut," kata Siprianus.

"Out of the Box"

Diminta terpisah, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, menyayangkan disparitas yang tinggi antara bunga simpanan dan bunga kredit. Padahal, Indonesia sangat memerlukan kerja perbankan yang out of the box untuk mendongkrak ekonomi yang tertekan oleh situasi dunia pascapandemi. Apalagi, perbankan di Indonesia sudah banyak mendapat bantuan dari negara ketika krisis terjadi. Semua bantuan itu tentu menggunakan uang rakyat.

"Semua tahu saat krisis 1998, saat bank kolaps, semua ditolong oleh uang rakyat. Dalam situasi bisnis perbankan maju, semestinya kan benar-benar menjadi perangkat inklusi keuangan. Nah dengan disparitas tinggi, yang punya uang malas nabung, yang harusnya dapat kredit dan eskalasi bisnis malah jadi terhambat," papar Aditya.

Perbankan sesuai regulasi BI memiliki peran mendorong keuangan inklusif yang fungsinya untuk memotong kesenjangan ekonomi. Dengan disparitas tinggi yang paling memerlukan kredit yakni UMKM akan makin tertinggal dalam peluang ekonomi.

Hal penting yang perlu dicatat bahwa tujuan perbankan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, investasi, dan kesejahteraan rakyat. Prinsip-prinsip perbankan yang harus diperhatikan tecermin dalam berbagai regulasi dan pedoman di Indonesia, di antaranya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) yang memuat tata kelola yang baik, transparansi, dan tanggung jawab sosial perbankan.

"Efisienkan kerja perbankan kita sehingga bunga kredit bisa ditekan. Tanggung jawab perbankan itu besar, tidak bisa hanya mencari untung sebesar-besarnya untuk share holders. Kalau ada masalah, negara juga yang akan turun tangan membantu," tandas Aditya.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur BI mengatakan kredit perbankan pada Juli 2023 tumbuh sebesar 8,54 persen secara tahunan atau meningkat dari bulan sebelumnya yang tumbuh 7,76 persen (yoy).

"Perkembangan ini dipengaruhi sisi penawaran kredit sejalan standar penyaluran kredit perbankan yang masih longgar, sehingga akomodatif terhadap peningkatan pertumbuhan kredit," jelas Perry.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top