Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Efisiensi Operasional

Perbankan Mampu Hindari Rezim Bunga Tinggi

Foto : ANTARA/Aprillio Akbar

PELUNCURAN SIKLUS T+2 - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso (ketiga kanan) bersama jajaran Dewan Komisioner OJK sera tamu undangan berfoto bersama seusai peluncuran Siklus Penyelesaian T+2 , di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (25/11/2018). Peluncuran tersebut sebagai bagian dari puncak peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-7 OJK.

A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim industri perbankan mampu menghindari era suku bunga tinggi karena perbankan mampu menipiskan biaya operasional dan cenderung memiliki likuiditas memadai.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan hal itu terkait pengaruh kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia hingga 175 basis poin dalam enam bulan terakhir terhadap suku bunga perbankan.

"Masih terukur, bank masih bisa tingkatkan efisiensi (operasional), sehingga kenaikan suku bunga (Bank Indonesia) tidak langsung ditransmisikan ke suku bunga bank," kata Wimboh dalam perayaan ulang tahun ke-7 OJK di Jakarta, Minggu (25/11).

Wimboh juga memandang industri perbankan masih menyalurkan kredit kepada nasabah secara terukur sesuai Rencana Bisnis Bank (RBB) di tengah kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral.

Jika melihat Rencana Bisnis Bank (RBB) yang disusun awal tahun ini, industri perbankan menargetkan pertumbuhan kredit di 12,2 persen. Namun, dalam pernyataan terakhirnya Oktober 2018, Wimboh melihat agresivitas perbankan dalam menyalurkan kredit selama Januari-Oktober 2018 bisa membuat pertumbuhan kredit di akhir tahun mencapai 13 persen. "Pertumbuhan kredit bisa 13 persen akhir 2018. Itu melebihi target yang 10 sampai 12 persen," ujar Wimboh saat itu.

Kebijakan Relaksasi

Pada kesempatan terpisah, Direktur Keuangan dan Treasuri PT Bank Tabungan Negara Persero Tbk (BTN) Iman Nugorho Soeko mengatakan potensi pengetatan likuiditas di akhir tahun bisa berkurang karena kebijakan relaksasi perhitungan rata-rata Giro Wajib Minimum Primer (GWM Averaging) yang ditingkatkan menjadi tiga persen dari dua persen.

Namun, peningkatan GWM Averaging hanya memberikan bank ruang fleksibilitas dalam mengelola likuiditas harian. Dengan begitu, bukan berarti, bank memperoleh tambahan likuiditas dari relaksasi GWM Averaging itu karena rasio untuk memenuhi kewajiban GWM-Primer tetap dipertahankan BI di level 6,5 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK).

"Tapi karena agregat GWM tetap di 6,5 persen artinya tidak ada tambahan likuiditas yang bisa disalurkan untuk menunjang lebih tingginya pertumbuhan kredit," ujar Iman. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan kredit akan kembali meningkat pada triwulan IV-2018, tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kredit baru yang meningkat menjadi 94,8 persen.

Peningkatan kredit pada triwulan IV-2018 didorong oleh tingginya optimisme responden seiring pertumbuhan ekonomi yang masih kuat, risiko penyaluran kredit yang rendah, dan rasio kecukupan modal yang meningkat.

Peningkatan kredit pada triwulan IV-2018 didorong oleh tingginya optimisme responden seiring pertumbuhan ekonomi yang masih kuat, risiko penyaluran kredit yang rendah, dan rasio kecukupan modal yang meningkat.

"Perkiraan meningkatnya pertumbuhan kredit pada triwulan IV-2018 juga disertai standar penyaluran kredit yang akan lebih ketat," sebut survei BI yang dipublikasikan di Jakarta, beberapa waktu lalu.

mad/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top