Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Perankan Tokoh untuk Reka Ulang Sejarah

Foto : KORAN JAKARTA/Dini D0aniswari

Memahamai sejarah dengan reka ulang peristiwa. Reenactor kerap memerankan tentara Belanda atau Jepang, merasa menemukan cara yang tepat untuk lebih mengenal sejarah bangsa.

A   A   A   Pengaturan Font

Proses pemahaman sejarah melalui reka ulang membuat sejarah menjadi pembelajaran yang menarik.

Reenactment atau reka ulang dengan tujuan edukasi dan entertaiment membuat para pelakunya atau reenactors makin mencintai sejarah bangsa. Reenactment mampu menampilkan pemahaman sejarah dengan cara yang berbeda.

Dalam hal ini, reenactor diajak terlibat langsung berperan dalam sebuah peristiwa sejarah. Seperti yang ditampilkan sejumlah komunitas sejarah dari berbagai kota di Museum Perumusan naskah Proklamasi, Rabu (16/8). Mereka menampilkan teatrikal perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan.

Dalam fragmen berdurasi 30 menit yang dilakukan di taman depan museum yang ditonton khalayak umum, para pemain menampilkan beberapa tokoh berserta atributnya, mulai dari rakyat jelata, serdadu Jepang, tentara Belanda sampai tokoh Soekarno dan Hatta. Cerita ditampilkan utuh termasuk pergolakan peperangan merebut kemerdekaan.

"Saya suka sejarah, tapi saya malas dengan pelajaran sejarah yang gitu-gitu saja (baca buku dan menghafal)," ujar Hosea Aryo Bimo Widiotomo Notohadihoesoemo, 36. Saat berada di Inggris dan Belanda beberapa waktu lalu, dia melihat reenactor yang mengenakan baju-baju jaman dulu dan mengubah kastil di jaman tersebut.

Sejak itu, reenactor yang kerap memerankan tentara Belanda atau Jepang, merasa menemukan cara yang tepat untuk lebih mengenal sejarah bangsa.

Atas kesamaan minat, para reenactor bermunculan dari berbagai komunitas sejarah, diantaranya mulai Front Bekasi, Djokjakarta 1945, Historia Van Bandung, Indonesia Reenactor (IDR), Komunitas Onthel Cibinong (Konji) Mardjikers maupun Bogor Historical Community. Mereka bersama-sama berkumpul untuk menampilkan teatrikal perjuangan.

Pementasan tidak hanya dilakukan di satu tempat melainkan mereka berpindahpindah dari satu kota ke kota lain. Ini karena masing-masing kota memiliki sejarah bangsanya sendiri-sendiri. Misalnya, Serangan Umum 1 Maret di Yogya, Pertempuran 10 November di Surabaya, Bandung Lautan Api di Bandung atau Magelang Kembali di Magelang, Jawa Tengah.

Pada hari bersejarah, mereka akan kumpul di kota-kota tersebut untuk menampilkan reenactment.

Dion Kaspar, 42, penulis skenario pementasan Indonesia Merdeka di Museum Perumusan Naskah Proklamasi mengatakan reenactment merupakan hobi.

"Ini hobi belajar sejarah yang menerangkannya melalui edukasi dan entertaiment," ujar dia yang ditemui sebelum pementasan. Karena sifatnya reka ulang, maka masing-masing peserta secara tidak langsung dituntut untuk melakukan riset, mengumpulkan kostum maupun belajar timeline peristiwa.

Hobi tersebut harus ditampilkan melalui adegan reka ulang. "Kalau nggak reka ulang jadinya periset sejarah," ujar dia memberikan alasan. Umumnya, para reenactors yang tampil telah memiliki pengetahun sejarah berikut kostum tokoh yang sesuai dengan kerakternya.

Di sisi lain, para pemain rata- rata memiliki garis keturanan dari para pejuang kemerdekaan. Sehingga saat ada pementasan, latihan dilakukan sebagai koordinasi cerita maupun bloking pementasan.

Meskipun begitu, pementasan kerap kekurangan pemain terutama untuk tokoh romusa atau rakyat jelata.

"Karena basicly, semua ingin tampil cantik atau gagah," ujar dia. Maka, anggota yang baru bergabung ataupun anggota yang tidak memiliki kostum komplit biasa yang ketiban menjadi rakyat jelata maupun romusa.

"Pada akhirnya untuk seruseruan saja, karena setiap kegiatan, penyakitnya itu, susah mencari peran ndeso," ujar lakilaki yang kakeknya berjuang bersama pahlawan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Meski tanpa survei, reenactment mampu menularkan ketertarikan kepada masyarakat awal, sekitar dua atau tiga orang dalam setiap pementasannya. din/E-6

Optimalkan Peran, Jaga Berat Badan

Dalam seni peran, bentuk tubuh memengaruhi peran yang akan dimainkan. Hal serupa yang terjadi pada para pemain reenactor Kemerdekaan RI di Museum Perumusan Naskah Proklamasi pada Rabu (16/8). Mereka ada yang memiliki tubuh kurus bahkan ada yang sengaja menjaga berat badannya.

"Saya perannya jadi tentara Jepang karena posisi badan memang kecil, kalau jadi Belanda nggak cocok," ujar Donny MS yang ditemui sebelum mementaskan teatrikal. Laki-laki yang tergabung dalam komunitas Historia Van Bandung mengaku perannya selalu menjadi tentara karena tubuhnya tergolong mungil.

Selain menjadi tentara Jepang, laki-laki yang di komunitas dipanggil Dona- Doni ini kerap mendapatkan perang sebagai Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Sejarah telah mendarah daging dalam tubuh pria berusia 37 tahun ini. Apalagi kakeknya merupakan pejuang tentara pelajar di Yogyakarta. Selain itu, kakeknya merupakan pencetus tentara pelajar bersama Chairil Anwar.

Jika Donny berperawakan kurus, bedahalnya dengan Hosea Aryo Bimo Widiotomo Notohadikoesoemo. Laki-laki yang biasa dipanggil Bimo tersebut mengaku harus menjaga berat badannya supaya sesuai ketika memerankan tokoh tentara Koninklijke Nederlands (ch)-Indische Leger (KNIL) atau tentara Kerajaan Hindia Belanda.

"Saya harus jaga badan, saya olah raga lari dan dansa," ujar dia, yang mengatakan pemeren dituntut memiliki postur tubuh sesuai tokoh aslinya. Pasalnya, tentara jaman dahulu baik dari TNI maupun tentara Belanda harus memiliki kemampuan dansa supaya dapat berkenalan dengan orang lain.

"Saya mewawancarai veteran tentara TNI maupun KNIL, mereka rata-rata bisa tiga dansa waltz, swing, dan woolfolk," ujar pria yang memiliki bobot tubuh 68 kilogram dengan tinggi badan 182 sentimeter. Selain untuk menjaga berat badan, olah raga digunakan untuk menjaga stamina tubuh. Ini mengingat pagelaran treatikal membutuhkan kondisi fisik yang prima.

Sebelum pementasan, Bimo biasanya rutin jogging sejauh lima kilometer minimal sebulan sebelum pementasan. Bahkan untuk reenactor yang tampil dalam treatikal Pertempuranan 10 November di Surabaya, mereka sampai ikut lomba marathon untuk menjaga stamina badan.

Karena dalam pementasan, para pemeran harus berjalan kaki sepanjang tujuh kilometer dan terlibat pertempuran sekurangnya lima kali pertempuran. din/E-6

Kenakan Kostum Asli saat Era Perjuangan

Suara tembakan maupun kepulan asap membumbung di tengah pertempuran. Beberapa orang di antaranya, tampak penuh luka bahkan sebagian sampai digeret karena tertembak setelah terkena peluru. Adegan tersebut bukan peperangan sesungguhnya.

Adegan tersebut bagian dari reenactment yang dilakukan sejumlah komunitas sejarah, menyambut Hari Kemerdekaan RI ke 72, di halaman Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Hosea Aryo Bimo Widiotomo Notohadikoesoemo langsung memperlihatkan sarung senjatanya. "Patah," ujar dia singkat, sambil menunjukkan sarung senjata laras pendek yang telah terbagi dua. Adegan yang baru dilakukannya membuat sarung senjatanya terbelah menjadi dua.

Kostum menjadi bagian yang tidak dilewatkan dalam adegan reenactment. Karena dalam reenactment, para reenactor dituntut untuk menampilkan adegan mirip dengan aslinya termasuk kostum. Beberapa di antaranya memiliki kostum asli dari masa perjuangan dahulu.

Seperti kostum yang dimiliki Bimo ketika memerankan tentara Koninkljijke Nederlands (ch) Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ia berhasil mendapatkan kostum berwarna hijau tanpa tempelan logo. Kostum tersebut menggunakan kain yang hanya diproduksi di daerah Jawa Barat.

Bimo mengaku bahwa untuk perawatannya tidak terlalu sulit, pakaian tersebut cukup dicuci dan dijemur seperti menjemur pada umumnya. Asalkan saat dicuci, pakaian tersebut tidak dikucek.

Sudah menjadi lumrah, para reenactor memiliki kostum pejuang sesuai dengan karakternya masing-masing. Kostum tersebut tidak hanya pakaian melainkan berbagai senjata maupun sarung senjata. Beberapa di antaranya tidak hanya memiliki satu kostum melainkan lebih dari satu.

Kondisi tersebut cukup menguntungkan terutama jika pementasan membutuhkan tokoh yang beragama. Selain kostum yang merupakan asli pada jamannya, para reenactor dapat menggunakan kustum replika. Kostum yang dibuat baru dengan mencontoh kostum aslinya. din/E-6

Penulis : Dini Daniswari

Komentar

Komentar
()

Top