Penyelesaian Kasus Stunting Tidak Sesuai Target
Foto: Sumber: Kementerian Kesehatan – Litbang KJ/and - K»Perlu ada reorientasi pembangunan agar lebih inklusif dan lebih pro poor.
» Alokasi anggaran untuk stunting justru habis untuk rapat dan perjalanan dinas.
JAKARTA - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan penyelesaian kasus stunting di 378 daerah di Indonesia tidak sesuai dengan target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Kepala BPKP, Muhammad Yusuf Ateh, dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Internal di Jakarta, mengungkapkan target yang belum sesuai target itu karena perencanaan dan penganggaran di daerah belum optimal.
"Penyelesaian kasus stunting tidak sesuai target RPJMN pada 378 daerah, serta kualitas ruang kelas sekolah masih perlu ditingkatkan pada 241 daerah provinsi, kabupaten/kota," kata Ateh dalam sambutan Rapat Koordinasi Pengawasan Internal (Rakornas Wasin) 2023 di Jakarta, Rabu (14/6).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hadir dalam kesempatan itu mengaku geram dengan penggunaan anggaran yang tidak jelas atau absurd di kementerian/lembaga dan pemda.
Jokowi menggambarkan kalau seandainya terdapat anggaran sebesar 10 miliar rupiah untuk penanganan tingkat kekurangan gizi kronis (stunting), seharusnya delapan miliar rupiah di antaranya untuk program yang berorientasi hasil dan dapat menurunkan stunting, seperti pemberian makanan penuh nutrisi bagi masyarakat. Namun kenyataannya, banyak anggaran yang tersalurkan untuk belanja pegawai, perjalanan dinas, dan lainnya.
"Saya baru saja minggu yang lalu saya cek di APBD di Mendagri. Coba saya mau lihat 10 miliar rupiah untuk stunting, saya cek, perjalanan dinas tiga miliar rupiah, rapat tiga miliar rupiah, penguatan pengembangan dua miliar rupiah. Yang benar-benar beli telur itu tak ada dua miliar rupiah. Kapan stunting-nya akan selesai kalau caranya seperti ini. Ini yang harus diubah semuanya," kata Presiden.
Belum Ada Perubahan
Ahli Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM, Hempri Suyatna, mengatakan masih banyaknya kasus stunting menunjukkan belum ada perubahan mendasar dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang andal.
Pembangunan dengan mengandalkan pembiayaan utama dari APBN ternyata masih terus saja berpihak kepada kaum konglomerat dan meninggalkan rakyat terbawah.
"Perlu ada reorientasi pembangunan agar lebih inklusif (dalam), lebih pro poor. Keberpihakan negara terhadap masyarakat marginal masih minim dan ini terlihat jelas betapa pembayaran bunga obligasi rekap puluhan triliun selama puluhan tahun itu tidak pernah dipertanyakan, padahal rakyat terbawah sangat memerlukannya," kata Hempri.
Dengan angka stunting 24,4 persen maka hal itu berarti setiap 4 bayi lahir, 1 di antaranya stunting. Kondisi tersebut dinilai cukup mencederai citra Indonesia dengan kapasitas perekonomian yang sudah masuk dalam kelompok 20 negara (G-20).
Dalam kesempatan lain, Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan anggaran stunting lebih banyak digunakan untuk perjalanan dinas, rapat, dan berbagai pengeluaran birokratis proyek sehingga belum sepenuhnya efektif.
"Mestinya anggaran tersebut dialokasikan secara konkret untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi," kata Awan.
Bukan sebaliknya, untuk mendukung memobilisasi gerakan bersama multipihak untuk mengatasi masalah stunting sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal. "Masalah stunting semestinya bisa dipakai untuk negosiasi terkait pembayaran utang," tegas Awan.
Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan secara akumulatif penanganan stunting memang mengalami penurunan signifikan 15,4 persen di mana pada 2014 masih tercatat 37 persen dan pada 2022 diangka 21,6 persen. Jika di rerata, setiap tahun terjadi penurunan 2,2 persen.
Presiden Jokowi menargetkan tahun 2024 turun menjadi 14 persen, perlu percepatan dari pemerintah terlebih jika melihat rata-rata penurunannya. Di sisi lain, pemerintah perlu memastikan alokasi anggaran betul-betul optimal untuk penanganan stunting, banyak kasus alokasi anggaran untuk stunting justru habis untuk rapat dan perjalanan dinas, mestinya belanja modal lebih besar.
Alokasi anggaran pemerintah cukup besar mencapai 77 triliun rupiah, dan pada 2022 juga dialokasikan anggaran percepatan 44,8 triliun rupiah yang tersebar. "Jika tahun ini masih di angka 21,6 persen, maka pada 2024 harus digenjot turun 7,6 persen agar bisa mencapai target 14 persen," katanya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Retno Marsudi Diangkat Jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Terbarukan Singapura
- CEO Nvidia Jensen Huang Sebut 'Era AI telah Dimulai'
- Messe Duesseldorf Ajak Industri Plastik dan Karet Indonesia Akselerasi Penerapan Industri Hijau Melalui Pameran K
- Edukasi Pentingnya Nutrisi Toko Susu Hadirkan Area Permainan
- Survei Indikator: Pemilih KIM Plus Banyak Menyeberang ke Andika-Hendi di Pilgub Jateng