Penyaluran Bansos Jelang Pemilu Rentan Disalahgunakan
BADIUL HADI Manajer Riset Seknas Fitra - Besarnya anggaran ini juga perlu dilakukan pengawasan agar tidak terjadi penyelewengan (korupsi), karena potensinya sangat besar.
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Badan Anggaran (Banggar) menyarankan pemerintah untuk berhati-hati dalam menjalankan kebijakan bantuan sosial (bansos), terutama dalam situasi menjelang Pemilu 2024.
Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah, di Jakarta, Senin (4/12), mengatakan setiap produk kebijakan publik merupakan bagian dari political interest, sehingga pemerintah perlu memperhatikan aspek politik dan operasional dalam mengembangkan kebijakan bansos.
"Dalam penyaluran bantuan pemerintah harus menjelaskan kepada rakyat political interest pengembangan bansos," kata Said.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan distribusi bansos yang masif jelang pemilu sangat rentan disalahgunakan.
"Makanya, saya tidak sepakat penyaluran bantuan pangan itu disalurkan sampai Juni 2024," tegas Anthony.
Pada prinsipnya, kata dia, bansos seharusnya, berdasarkan anggaran APBN 2023, berhenti pada November 2023. Tetapi, kemudian dilanjutkan sampai Juni tahun depan, 2024. APBN 2024 sendiri sudah ditetapkan pada Oktober yang lalu, dan sudah pasti mata anggaran bansos ini tidak ada di dalam APBN 2024 karena keputusan ini sangat mendadak.
"Oleh karena itu, pemberian bansos ini akan melanggar UU APBN, dan tata kelola Keuangan Negara," tegasnya.
Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan data dari Kementerian Keuangan menyebutkan pemerintah pada 2023 mengalokasikan anggaran untuk bantuan sosial beras ini sebesar 18,5 triliun rupiah dengan rincian peeriode Maret-Mei 2023 sebesar 7,9 triliun rupiah, periode II September-November 2023 sebesar delapan triliun rupiah dan dan Desember 2,67 triliun rupiah.
Anggaran tersebut, katanya, tidak sedikit sehingga perlu dipastikan bantuan tepat sasaran, terlebih salah satu alasan kebijakan itu adalah untuk membantu masyarakat dari mahalnya harga beras di pasar.
"Besarnya anggaran ini juga perlu dilakukan pengawasan agar tidak terjadi penyelewengan (korupsi), karena potensinya sangat besar," tegasnya.
Badan Pangan Nasional merilis data Keluarga Penerima Manfaat (KPM) sebanyak 21,2 juta keluarga. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan masih ada persoalan yang dihadapi, terutama terkait data penerima dan kualitas beras.
"Dua hal ini saya kira perlu dapat perhatian serius dari pemerintah," tandas Badiul.
Sudah Diprediksi
Guru Besar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Antun Mardiyanta, mengatakan setiap kebijakan publik pemerintah tidak bebas nilai sehingga cenderung didominasi kepentingan aktor politik.
"Fenomena naiknya porsi hibah dan bansos menjelang pemilu sudah lumrah sehingga seolah sudah bisa diprediksi akan berulang kejadiannya. Mungkin sekarang yang agak berbeda adalah sikap Ketua Banggar DPR RI, meski halus bahasanya, namun hal ini agak berbeda dengan yang lalu selama era pemerintahan Presiden Jokowi," kata Antun.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Retno Marsudi Diangkat Jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Terbarukan Singapura
- CEO Nvidia Jensen Huang Sebut 'Era AI telah Dimulai'
- Messe Duesseldorf Ajak Industri Plastik dan Karet Indonesia Akselerasi Penerapan Industri Hijau Melalui Pameran K
- Edukasi Pentingnya Nutrisi Toko Susu Hadirkan Area Permainan
- Survei Indikator: Pemilih KIM Plus Banyak Menyeberang ke Andika-Hendi di Pilgub Jateng