Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Hepatitis C

Penyakit Tidak Bergejala Pemicu Kanker Hati

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Lima jenis virus hepatitis, A, B,C,D dan E. Dan yang bisa menyebabkan infeksi kronik hanya B, C dan D. Hepatitis B dan C paling bermasalah, karena berpotensi menjadi sirosis dan kanker hati, terutama hepatitis C.

Hasil Riskesdas 2013 mencatat, diperkirakan sekitar 1,5-3 juta orang Indonesia saat ini terinfeksi hepatitis. Jika dikombinasikan dengan hepatitis B, maka setidaknya 1 dari 10 orang Indonesia mengidap hepatitis kronik.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Dirjen P2P Kemenkes Wiendra Woworuntu menjelaskan, kasus infeksi penderita hepatitis C lebih tinggi dari penderita HIV.

"Kelompok usia tertinggi infeksi hepatitis C di Indonesia adalah 50-59 tahun, namun untuk kelompok usia 35-39 saat ini cenderung ada kenaikan. Ini adalah kelompok usia produktif, yang tentu akan membawa dampak yanglebih besar," jelas Wiendra dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Ngobras, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hepatitis C ditularkan melalui kontak darah, karena itu faktor risiko penularan hepatitis C positif berdasarkan hasil surveilance Kemenkes adalah pengguna narkoba suntik, hemodialisa, keluarga pengidap hepatitis C, penerima transfusi darah, pasien cangkok organ dan lainnya.

Irsan Hasan, Ketua Peneliti Hati Indonesia menambahkan, sebagian besar (80 persen) infeksi hepatitis C tidak menunjukkan gejala. Banyak yang tidak menyadari mereka telah terinfeksi virus hepatitis.

"Perjalanan penyakit dari mulai terinfeksi menjadi infeksi akut kurang lebih 6 bulan. Namun, kita jarang menemukan kasus akut karena tidak bergejala. Kebanyakan kasus infeksi hepatitis terdeteksi setelah menjadi infeksi kronis dan berakhir dengan sirosis hati," jelasnya.

Sirosis adalah pembentukan jaringan keras atau fibrosis di hati. Sirosis inipun tidak menimbulkan gejala kecuali fungsi hatinya sudah menurun hingga 20 persen. Sirosis dapat berkembang menjadi kanker hati.

Menimbulkan Peradangan Ginjal

Infeksi hepatitis, baik B maupun C, umumnya hadir bersamaan dengan infeksi lain, atau disebut koinfeksi. Misalnya pada pasien HIV. Selain itu kasus hepatitis C juga banyak ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani cuci darah (hemodialisa). Tentu saja infeksi hepatitis C yang disertai infeksi lain hadir bersamaan dengan penyakit ginjal kronis, kondisinya akan lebih buruk dibandingkan infeksi tunggal hepatitis C saja.

Penjelasan yang mungkin mengapa banyak pasien hemodialisis menderita infeksi hepatitis C adalah tertular melalui proses cuci darah. Meskipun dibandingkan beberapa tahun lalu insidennya sudah menurun, namun penderitanya masih cukup banyak.

Infeksi hepatitis C sendiri, memang dapat menimbulkan penyakit ginjal, meksipun kejadiannya relatif kecil dibandingkan melalui penularan hemodialisis. Hepatitis C dapat menimbulkan glumeronefritis atau peradangan ginjal yang pada akhirnya menyebabkan penyakit ginjal kronis.

Menurut Wiendra, target untuk kelompok pasien penderita hepatitis C dengan koinfeksi ini adalah pengobatan karena kematian dan kesakitan yang tinggi. Sayangnya, terapi untuk penderita hepatitis C dengan komplikasi penyakit ginjal kronis masih menemui kendala.

"Apakah pasien hepatitis C dengan penyakit ginjal kronik ini semua harus diobati? Ini menjadi masalah, karena kalaupun diobati maka kemungkinan untuk tertular lagi tinggi. Di era interferon, kalau kondisi sirosisnya masih skala sedang, maka tidak kita obati karena pengorbanan efek samping pengobatan lebih berat. Tetapi di era Direct Acting Antivirus (DAA) sekarang, maka seharusnya dapat diobati karena keberhasilannya lebih dari 90 persen," jelasnya.

DAA yang ada saat ini di Indonesia, yaitu sofosbuvir, tidak direkomendasikan untuk penderita gangguan ginjal. Saat ini sebenarnya sudah ada DAA yang aman untuk penderita penyakit ginjal kronik yaitu Grazoprevir + Elbasvir. Tetapi, menurut Wiendra, untuk sementara obat ini belum masuk program BPJS karena Kemenkes masih memprioritaskan pengobatan koinfeksi hepatitis C dan HIV. san/R-1

Sudah Jauh Berkembang

Ada perbedaan signifikan antara infeksi hepatitis B dan C. Sebagian besar penderita infeksi hepatitis B dapat sembuh dengan sendirinya, selama kekebalan tubuhnya bagus. Sebaliknya, pada infeksi hepatitis C, 90 persen kasus tidak akan sembuh dan berlanjut menjadi komplikasi serius. Mengapa? Karena virus hepatitis C tidak mudah dieliminasi oleh sistem imun tubuh.

Perkembangan pengobatan hepatitis C saat ini sangat berkembang dan jauh lebih menggembirakan dibandingkan pengobatan untuk hepatitis B. Dulu, pengobatan untuk hepatitis C hanya mengandalkan interferon yang diberikan dengan cara disuntik. Efek samping interferon sangat berat dengan peluang kesembuhan hanya 60 persen.

Saat ini setelah ditemukan antivirus dari golongan DAA, maka keberhasilan pengobatan untuk infeksi hepatitis C ini meningkat signifikan. Keunggulan DAA antara lain efek samping sangat rendah dan mudah dikonsumsi karena sediaan oral dan keberhasilan di atas 90 persen.

Pada 2013 baru ada 2 jenis DAA di dunia, tetapi di 2016 ini puluhan DAA baru menanti untuk diluncurkan dan tengah dalam tahap penelitian. DAA meningkatkan respons terapi Hepatitis C mendekati 100 persen. Saat ini setidaknya ada 5 obat DAA yang sudah teregistrasi di BPOM yaitu Sofosbuvir, Simeprevir, Sofosbuvir + Ledipasvir, Grazoprevir + Elbasvir dan Daclatasvir.

Wiendra menjelaskan, dari DAA yang tersedia di Indonesia baru dua jenis yang yang sudah masuk ke formularium nasional adalah sofosbuvir, simeprevir dan ribavirin.

"Pelayanan dan akses obat hepatitis C akan didorong ke layanan BPJS, termasuk pemeriksaan diagnostik dan juga evaluasi terapi berupa pemeriksaan HCV-RNA dan genotipe, juga termasuk fungsi hati," katanya.

Target Kemenkes tahun ini adalah 6.000 pasien yang dapat tercover BPJS untuk hepatitis C. Prioritas untuk pasien yang koinfeksi adalah pengobatan karena mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi.

Kemenkes sendiri menargetkan eradikasi hepatitis C pada 2030. Program yang dilakukan antara lain penyediaan obat dan skrining, dengan harapan skrining hepatitis C dapat dilakukan di tingkat Puskesmas.

Skrining dilakukan pada risiko tinggi, yaitu penasun (pengguna napza suntik ), pasien hemodialisis, pada keluarga dengan penderita hepatitis C, petugas kesehatan dan pasien yang kontak darah dengan penderita hepatitis C.

Saat ini skrining dilakukan dengan Tes Cepat Molekuler, yaitu alat skrining yang cukup cepat mendeteksi hepatitis C dan dua infeksi lain. san/R-1

Komentar

Komentar
()

Top