Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Difteri

Penyakit Infeksi yang Mengancam Jiwa

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Difteri adalah infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, dan terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini sangat menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.

Difteri kembali mewabah di Indonesia. Kementerian Kesehatan (Kemkes) bahkan sudah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) karena penyakit mematikan yang disebabkan bakteri Corynebacterium Diptheriae ini telah memakan puluhan korban jiwa setidaknya di 20 provinsi.

Data Kemkes sampai November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 diantaranya meninggal dunia.

Sementara pada Oktober hingga November 2017, ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri, antara lain di Sumatra Barat (Sumbar), Jawa Tengah (Jateng), Aceh, Sumatra Selatan (Sumsel), Sulawesi Selatan (Sulsel), Kalimantan Timur (Kaltim), Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Timur (Jatim).

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes, Muhammad Subuh menyatakan kasus KLB difteri yang terparah terjadi di wilayah Jatim. "Kedua Jabodetabek, dan Tangerang Banten," kata Subuh.

Sementara itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar juga menklaim angka kematian akibat meluasnya kasus penularan penyakit difteri tahun ini meningkat dibanding tahun lalu. Pada 2016, terjadi 221 kasus difteri dengan angka kematian mencapai 10 orang. Sepanjang 2017 ini kasus penyakit difteri di Jabar tercatat telah mencapai 116 kasus dengan jumlah angka kematian sebanyak 13 orang.

Penyebaran penyakit ini sangat masif, melalui cara menghirup cairan dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi, kemudian dari jari-jari atau handuk yang terkontaminasi, dan melalui susu yang terkontaminasi penderita. Melalui jalur itu, difteri dengan mudahnya menular pada orang rentan, yang tidak mendapatkan vaksin difteri.

Untuk memutus mata rantai pesebaran penyakit ini sebenarnya hanya dengan imunisasi. Di Indonesia, program imunisasi difteri sudah dilakukan sejak lebih dari 5 dasa warsa. Vaksin untuk imunisasi difteri ada 3 jenis, yaitu vaksin DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan vaksin Td yang diberikan pada usia berbeda. Imunisasi Difteri diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah 1 tahun) sebanyak 3 dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak 1 bulan.

Setelah itu, imuniasi lanjutan dilakukan kembali ketika anak berusia 18 bulan sebanyak 1 dosis vaksin DPT-HB-Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas-1 diberikan 1 dosis vaksin DT, lalu pada murid kelas-2 diberikan 1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas-5 diberikan 1 dosis vaksin Td.

Itu sebabnya, suksesnya memerangi difteri sangat erat kaitanya dengan imunisasi, minimal 95 persen. Munculnya wabah difteri sejauh ini kemungkinan karena adanya immunity gap, yaitu kesenjangan atau kekosongan kekebalan di kalangan penduduk di suatu daerah.

Akibat kekosongan ini, secara tiba-tiba ada akumulasi serangan difteri pada kelompok yang rentan atau belum memenuhi imunisasinya. Hal ini bisa terlihat pada kasus difteri di Jabar, Kepala Dinkes Jabar, Dodo Suhendar mengatakan difteri terjadi di daerah berkembang di Jabar, posisi teratas di tempati Purwakarta kemudian Karawang, Depok, Bekasi dan Garut.

Dodo menduga tingginya pesebaran itu dikarenakan kurang perhatian terhadap kondisi kesehatan, tepatnya pada pemberian imunisasi dan vaksinasi pada anak di kalangan masyarakat, hal ini juga ditandai ada warga yang masih menolak imunisasi. Kejadian itu juga kian diperparah belum meratanya imunisasi dilingkup Jabar.

"Belum tentu yang tinggal di perkotaan lebih sadar tentang imunisasi. Kalau di pedesaan biasanya lebih nurut. Jadwal imunisasi pakai kentongan saja warga langsung datang ke Posyandu. Kalau di kota beda," kata Dodo .

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga menegaskan KLB yang terjadi di Jatim dan secara sporadik di daerah lain (Pontianak dan Banjarmasin) merupakan indikator bahwa program imunisasi nasional tidak mencapai sasaran.

Oleh karena itu, dalam menghadapi dan mengatasi masalah difteri, harus memperbaiki pelaksanaan program imunisasi secara menyeluruh. Hal tersebut penting untuk mendapat perhatian yang serius dari semua kalangan kesehatan, baik itu masyarakat, pemerintah dan dokter spesialis anak. ima/R-1

Perlu Diwaspadai

Dalam sejarah, penyakit difteri pernah dicatat Hipocrates pada abad ke 5 SM. Penyakit ini ditandai dengan terbentuknya lapisan yang khas pada selaput lendir saluran napas yang dapat mengakibatkan kematian lantaran sumbatan saluran nafas atas atoksin-nya yang bersifat patogen mampu menimbulkan komplikasi miokarditis (peradangan pada lapisan dinding jantung bagian tengah), gagal ginjal, gagal napas dan gagal sirkulasi.

Gejala difteri secara umum berupa demam yang tidak begitu tinggi, 38ºC, munculnya pseudomembran atau selaput di tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, sakit waktu menelan, kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening leher dan pembengkakan jaringan lunak leher yang disebut bullneck.

Upaya pencegahan harus dilakukan bersama-sama dengan tindakan deteksi dini kasus, pengobatan kasus, rujukan ke rumah sakit, mencegah penularan, dan memberantas karier atu pembawa kuman penyakit.

Upaya pencegahan secara khusus juga ditunjukan kepada masyarakat, IDAI menghimbau pada masyarakat untuk melakukan langkah-langkah guna menjaga sekaligus menghindari risiko paparan wabah difteri kepada anaknya.

  • Kenali Gejala Awal Difteri
  • Segera ke Puskesmas atau RS terdekat apabila ada anak mengeluh nyeri tenggorokan disertai suara berbunyi seperti mengorok (stridor), khususnya anak berumur < 15 tahun.
  • Anak harus segera dirawat di RS apabila dicurigai menderita difteri agar segera mendapat pengobatan dan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan apakah anak benar menderita difteri.
  • Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga se rumah harus segera diperiksa dokter untuk mengetahui apakah mereka juga menderita atau menjadi karier difteri. Selain itu juga untuk mendapat pengobatan (eritromisin 50mg/kg berat badan selama 5 hari).
  • Anggota keluarga yang telah dinyatakan sehat, segera dilakukan imunisasi DPT.
  • Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4 minggu.
  • Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), kemudian apabila telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu ditambah imunisasi DPT ulangan 1x.
  • Masyarakat harus mengetahui dan memahami bahwa setelah imunisasi DPT, kadang-kadang timbul demam, bengkak dan nyeri di tempat suntikan DPT, yang merupakan reaksi normal dan akan hilang dalam beberapa hari. Bila anak mengalami demam atau bengkak di tempat suntikan, boleh minum obat penurun panas sehari 4 x sesuai umur, sering minum jus buah atau susu, serta pakailah baju tipis atau segera berobat ke petugas kesehatan terdekat. ima/R-1

Komentar

Komentar
()

Top