Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Perubahan Iklim | Ongkos Krisis Iklim Sangat Mahal sehingga Dapat Picu Krisis Pangan

Penurunan Emisi Perlu Ditingkatkan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil mengapresiasi peningkatan penurunan emisi yang lebih tinggi dari sektor energi yakni 44 metric tons of carbon dioxide equivalent (MtCO2e) atau naik 14 persen dari target di Updated National Determined Contribution (NDC).

Sayangnya, kenaikan tersebut masih belum selaras dengan upaya yang dibutuhkan untuk memastikan pemenuhan target global menahan kenaikan temperatur di bawah 2°C/1,5°C.

"Penurunan emisi dari sektor energi masih dapat ditingkatkan lagi apabila ada kenaikan target bauran energi terbarukan menjadi 42 persen pada 2030," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa.

Dia mengatakan penurunan emisi yang lebih tinggi juga bisa didapatkan dengan memasukkan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) serta akselerasi penggunaan kendaraan listrik, serta penerapan efisiensi energi dari bangunan serta industri. Hal tersebut saat ini belum dimasukkan dalam perhitungan penurunan emisi di NDC.

Secara terpisah, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya, menegaskan ongkos krisis iklim sangat mahal. Salah satunya bakal berdampak terhadap krisis pangan dan kenaikan harga pangan.

Dia menambahkan kenaikan harga pangan yang salah satunya disebabkan krisis iklim ini akan berdampak lebih besar bagi kelompok rentan, seperti kelompok berpendapatan rendah dan miskin. Gejolak harga dan krisisi pangan ini memiliki dampak kemanusiaan, sosial, ekonomi, dan politik yang sangat besar.

"Ini membuktikan bahwa krisis iklim tidak hanya berdampak bagi lingkungan, tetapi juga manusia," ucapnya.

Berkaitan dengan adaptasi, seharusnya aksi adaptasi sejalan dengan agenda pembangunan dan tidak boleh menyebabkan sesuatu yang lebih buruk.

"Meskipun NDC telah menyebutkan integrasi lintas-sektor, pada aras implementasi di tingkat nasional, koordinasi dan kolaborasi antarsektor masih menjadi pertanyaan besar mengingat aksi-aksi pembangunan yang bernuansa iklim maupun tidak bernuansa iklim masih saling berbenturan dan berdampak negatif bagi keselamatan warga," ujar Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono.

Partisipasi Minim

Koalisi menyoroti minimnya konsultasi dan partisipasi publik, terutama masyarakat sipil dan masyarakat adat dalam penyusunan Enhanced NDC. Padahal, masyarakat adalah kelompok terdepan dan langsung terdampak perubahan iklim.

Selain itu, Persetujuan Paris mengafirmasi pentingnya partisipasi publik dan akses publik terhadap informasi serta pelibatan seluruh aktor dalam seluruh proses penanganan perubahan iklim, termasuk penyusunan NDC.

Penyusunan dan implementasi NDC seharusnya didasari semangat no one left behind dalam penanganan perubahan iklim dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Penguatan mekanisme konsultasi dan pelibatan yang bermakna bagi seluruh pihak dalam proses penyusunan maupun implementasi NDC adalah hal yang mutlak.

"Hanya dengan memiliki mekanisme partisipasi publik yang bermakna, Indonesia dapat benar-benar menyatakan aksi yang ada di dalam NDC mampu menyelamatkan rakyat Indonesia dari krisis iklim yang telah terjadi dan akan semakin dirasakan saat ini," tutup Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top