Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Penjualan Antibiotik Tanpa Resep Pacu Kejadian AMR

Foto : Istimewa

Ilustrasi penjualan antibiotik tanpa resep.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Obat antibiotik yang dijual bebas tanpa resep dokter mendesak untuk dihentikan. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter yang merupakan salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR).

Berdasarkan data dari WHO, selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik meningkat sampai 91 persen secara global. Di negara berkembang meningkat hingga 165 persen, dan masuk dalam 10 ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia yang perlu ditangani.

"Implikasi dari AMR adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan," ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, Tri Wibawa dalam webinar dengan tema Urgensi Penerapan Kebijakan dalam Peresepan, Penjualan dan Konsumsi Antibiotik, Jumat (5/11).

Ia menjelaskan, antibiotik dipercaya masyarakat sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit mulai dari demam sampai nyeri sendi. Obat untuk mengatasi infeksi bakteri mudah dibeli di apotek, toko obat, dan bahkan warung.

"Masyarakat seringkali membeli obat di tempat-tempat ini sebagai bentuk pertolongan pertama pada penyakit ringan karena letaknya yang strategis, terpercaya, dapat diperoleh pada malam hari, dan memberikan akses yang mudah kepada obat-obatan esensial seperti antibiotik," paparnya.

Obat-obat antibiotik yang dibeli tanpa resep, dianggap lebih mudah dan hemat biaya. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat permintaannya sangat tinggi. "Apalagi antibiotik saat ini dapat dibeli dengan mudah. Dampaknya adalah memicu perkembangan AMR di Indonesia," ujarnya.

Hasil penelitian berjudul Protecting Indonesia from the Threat of Antimicrobial Resistance (PINTAR) yang BMJ Global Health, menemukan masyarakat dapat membeli antibiotik tanpa resep dengan proporsi dapat mencapai dua dari tiga kunjungan/pembelian. Meskipun antibiotik lini pertama seperti amoksisilin dan kotrimoksazol yang banyak dibeli namun antibiotik lini kedua seperti sefalosporin juga mudah dibeli tanpa resep dokter.

"Meskipun peraturan tentang penjualan antibiotik di Indonesia sudah jelas, tetapi dalam praktik, penjualan antibiotik tanpa resep ini masih banyak ditemukan, khususnya pada toko obat yang tidak resmi," tambahnya.

Untuk mengatasi berbagai hal tersebut, penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan peredaran antibiotik yang dapat berlaku sebagai pemicu resistensi antibiotik. Namun hal ini saja tidak cukup untuk menyelesaikan keseluruhan masalah resistensi antimikroba.

Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) periode 2014-2021 Harry Parathon mengungkapkan banyaknya penjualan antibiotik tanpa resep yang kerap terjadi di Indonesia merupakan salah faktor pemicu AMR. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan karena hanya dokter, dokter gigi, dan dokter hewan yang memiliki kewenangan.

"Sesuai UU Obat Keras tahun 1949 disebutkan yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah dokter, dokter gigi, dan dokter hewan," ujarnya.

UU Obat keras tersebut menyatakan obat keras adalah obat-obatan mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak. Selain itu disebutkan juga bahwa pada bungkus luar obat keras harus dicantumkan tanda khusus ini berupa kalimat 'harus dengan resep dokter.'

Koordinator The Indonesia One Health University Network (Indohun) Agus Suwandono mengatakan pemerintah Indonesia sudah menetapkan program pengendalian AMR di rumah sakit-rumah sakit melalui Permenkes No.8 Tahun 2015 dan juga melalui peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit. "Selanjutnya, tidak hanya peran pemerintah yang diperlukan partisipasi banyak pihak dalam penanganan AMR," paparnya.

Sama seperti pandemi Covid-19, program-program pemerintah akan berhasil jika didukung masyarakat. Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR diperlukan yaitu dalam menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top