Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pengamat Nilai Pelaksanaan Demokrasi Cenderung Transaksional

Foto : Istimewa

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Bina Nusantara (Binus) Malang, Frederik M. Gasa menilai penerapan demokrasi saat ini sangat transaksional.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pengamat Komunikasi Politik Universitas Bina Nusantara (Binus) Malang, Frederik M. Gasa mengatakan, pasca penyelenggaraan Pilpres dan Pileg pada Februari lalu, banyak riak-riak politik yang muncul ke permukaan. Salah satu penyebabnya, praktik demokrasi saat ini cenderung transaksional dan telah jauh dari esensi demokrasi itu sendiri.

"Proses demokrasi saat ini tidak lagi fokus pada bagaimana pemimpin yang benar-benar melahirkan wakil rakyat yang representatif, namun justru keterpilihannya lahir dari praktik yang bertolak belakang dengan demokrasi itu sendiri yakni atas asas untung rugi," kat Frederik dari Malang, Rabu (19/6), merespons pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) Bambang Soesatyo terkait demokrasi transaksional.

Bagaimana hal ini tidak terjadi, ongkos politik yang mahal ditambah mindset masyarakat yang masih pragmatis dan emotional dalam memilih menjadikan demokrasi saat ini seperti sebuah proses jual beli. "Jika harga yang ditawarkan pas, maka kita akan dapatkan suara yang diinginkan," ungkap Frederik.

Dia mengatakan, kita akan sulit menemukan wakil rakyat dan pemimpin yang ideal, yang merepresentasikan suara mayoritas, mengedepankan kepentingan umum, dan mengupayakan bonum commune (kebaikan bersama), karena mereka lahir dari praktik yang keliru. Logika yang dibangun adalah logika untung-rugi.

"Suara dan kepentingan masyarakat hanya akan menjadi komoditas lima tahunan. Negeri ini akan terus berjalan di tempat dan tidak beranjak kemana-mana jika ini terus terjadi. Lalu Indonesia Emas 2045 apakah kelak hanya jadi utopia semata? Entahlah," katanya.

Menurutnya, demokrasi saat ini perlu dievaluasi bersama dan prosesnya tidak semata-mata menjadi tugas wakil rakyat, tetapi seluruh lapisan masyarakat.

"Paling penting, bagi saya, adalah kita sebagai masyarakat perlu untuk melihat momentum pemilihan umum sebagai momentum evaluasi sekaligus memberikan asesmen atas kinerja wakil rakyat dalam kurun waktu tertentu. Menjadi rasional menjadi sangat penting!" tegasnya.

"Literasi politik mampu mendewasakan kita untuk semakin bijak dalam menggunakan hak suara agar tidak mudah untuk diperjualbelikan. Masalah muncul karena suara kita mudah untuk digadaikan dengan beberapa lembar rupiah. Konsekuensinya tidak main-main: lima tahun dalam kesengsaraan! Demokrasi kita sudah seharusnya naik kelas!," tandas dia.

Dia menekankan bahwa demokrasi harusnya penuh dengan jual beli gagasan, bukan suara. Demokrasi sudah seharusnya melahirkan pemimpin yang tahu malu. "Malu kalau korupsi, kolusi dan nepotisme. Barangkali saja, jika budaya malu ini ada, KPK tidak perlu lagi ada di Indonesia karena kita tahu malu. Demokrasi kita sudah seharusnya mengantarkan masyarakat diatas garis kemiskinan bukan justru memperburuknya," tutupnya.

Diketahui, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan evaluasi sistem demokrasi diperlukan untuk mencegah lahirnya pemimpin-pemimpin yang muncul dari sistem suap-menyuap yang tidak baik untuk keberlangsungan bangsa.

Menurutnya, sistem demokrasi langsung yang saat ini berlaku sudah memungkinkan terjadinya demokrasi transaksional dan salah satu faktor terpilihnya seorang pemimpin justru berdasarkan modal biaya dibandingkan dengan faktor lainnya.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top