Pendanaan Iklim untuk Negara Berkembang Meningkat
KTT COP29.
Foto: ANTARA/AnadoluISTANBUL - Arus pendanaan iklim secara keseluruhan untuk negara berkembang terus meningkat, menurut sekretaris eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), Simon Stiell.
Dalam KTT COP29 yang sedang berlangsung di Baku, Azerbaijan, perwakilan dari negara maju dan berkembang berkumpul dalam Dialog Tingkat Tinggi Menteri ke-6 tentang Pendanaan Iklim.
Dalam pidato pembukaannya, Stiell menekankan perlunya upaya bersama dari semua pihak untuk mengambil langkah konkret dalam mengatasi krisis iklim.
Stiell mencatat bahwa pelajaran harus diambil dari upaya yang sedang berlangsung untuk mencapai target pendanaan iklim sebesar 100 miliar dolar AS (sekitar Rp1,5 kuadriliun) yang ditetapkan bagi negara berkembang agar lebih banyak orang dapat merasakan manfaat dari upaya ini.
Dia juga menyoroti peran penting pendanaan dalam mendukung aksi iklim, dengan mencatat bahwa pendekatan yang konstruktif dan berorientasi pada solusi sangat penting untuk memajukan proses ini.
Presiden COP29, Mukhtar Babayev, dalam sambutannya menggambarkan pendanaan iklim sebagai isu utama baik untuk COP29 maupun untuk krisis iklim itu sendiri.
Babayev juga mengatakan bahwa target pendanaan iklim yang ditetapkan pada KTT COP di Kopenhagen dan Paris telah ditinjau pada COP29, dengan target tahunan sebesar 100 miliar dolar AS tercapai untuk pertama kalinya pada tahun 2022.
Ia menambahkan bahwa bank pembangunan multilateral terkemuka memproyeksikan bahwa pendanaan iklim kolektif tahunan akan mencapai 170 miliar dolar AS (sekitar Rp2,7 kuadriliun) pada tahun 2030, termasuk 49 miliar dolar AS (Rp777,8 triliun) untuk pendanaan adaptasi.
Dalam acara tersebut, anggota Komite Tetap UNFCCC tentang Keuangan, Gabriela Blatter dan Richard Muyungi, membagikan laporan kedua tentang perkembangan terbaru dalam pendanaan iklim kepada para peserta.
Muyungi menyoroti bahwa berdasarkan data dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), aliran pendanaan untuk proyek adaptasi meningkat dari 30 persen menjadi 32 persen antara tahun 2021 dan 2022, sementara aliran pendanaan mitigasi melonjak dari 16 persen menjadi 60 persen.
Dia juga mencatat bahwa porsi hibah naik dari 26 persen menjadi 43 persen.
Meskipun terjadi peningkatan ini, Muyungi menunjukkan bahwa kebutuhan finansial negara berkembang melebihi 100 miliar dolar AS per tahun.
Blatter menambahkan bahwa sebagian besar dana iklim multilateral yang dicairkan pada tahun 2021 dan 2022 dialokasikan ke wilayah Amerika Latin, Karibia, Afrika, dan Asia.
Dalam kelanjutan program, perwakilan negara maju memberikan pembaruan mengenai kontribusi mereka terhadap dana tersebut, sementara perwakilan dari negara berkembang menyerukan pembentukan dana baru untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan guna mencapai target 1,5 derajat Celsius.
Berita Trending
- 1 Hati Hati, Banyak Pengguna yang Sebarkan Konten Berbahaya di Medsos
- 2 Lulus Semua, 68 Penerbang AL Tuntaskan Kursus Peningkatan Profesi Selama Setahun
- 3 Ayo Terbitkan Perppu untuk Anulir PPN 12 Persen Akan Tunjukkan Keberpihakan Presiden ke Rakyat
- 4 Pemerintah Jamin Stok Pangan Aman dengan Harga Terkendali Jelang Nataru
- 5 Cegah Pencurian, Polres Jakbar Masih Tampung Kendaraan Bagi Warga yang Pulang Kampung
Berita Terkini
- Indonesia Episentrum Penting Sejarah Evolusi Manusia
- Libur Hari Natal, ASDP Catat 44.800 orang Tinggalkan Jawa menuju Sumatera
- Tingkatkan TKDN Laptop Nasional, Zyrex Gandeng UGM dan Xacti
- Tim SAR evakuasi enam pendaki tersesat di Gunung Ponteoa
- Menhut: Pendakian Semeru dibuka hanya sampai Ranu Kumbolo