Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Hari Gizi Nasional

Pencegahan "Stunting" Menjadi Perhatian Utama

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Data Riskesdas pada 2018 menunjukan prevalensi stunting di Indonesia sebesar 30,8 persen. Angka tersebut merupakan suatu penurunan dari yang sebelumnya mencapai 40 persen. Meskipun begitu, prevalensi stunting di Indonesia masih dinilai cukup tinggi, karena jauh di atas ambang yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu sebesar 20 persen.

Dibandingkan dengan benua lainnya, Asia menjadi penyumbang terbanyak stunting, obesitas dan gizi buruk. Sementara Indonesia sendiri di antara negara Asia Tenggara lainnya, berada di urutan ketiga sebagai negara dengan stunting, obesitas dan gizi buruk terbanyak, setelah Laos dan Kamboja. Sementara di Asia, Indonesia ada di urutan kelima di samping banyaknya jumlah penduduk Indonesia.

Hari Gizi Nasional yang berlangsung setiap 25 Januari, merupakan salah satu faktor yang membuat Frisian Flag Indonesia untuk menggelar diskusi media mengenai isu stunting yang masih menjadi permasalahan gizi sekaligus sosial di Tanah Air.

Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan, mengingat permasalahan stunting tidak hanya sekedar mengenai terhambatnya pertumbuhan tinggi badan pada anak. Melainkan pula tentang hambatan kecerdasan anak, kerentanan terhadap penyakit menular dan tidak menular, hingga penurunan produktivitas pada usia dewasa.

"Dari hasil Riskesdas 2018 memang angka stunting menurun, tetapi itu tidak mempengaruhi prevalensinya karena pemerintah Indonesia tidak melakukan apa-apa. Proporsinya di 18 provinsi Indonesia mempunyai prevalensi yang tinggi, sekitar 30 sampai 40 persen dan 11,5 persen balita di Indonesia sangat pendek," tutur Damayanti Rusli Sjarif, dokter anak spesialis nutrisi dan penyakit metabolik pada anak dalam acara diskusi media tersebut.

Diceritakan Damayanti, bahwa stunting merupakan permasalahan yang sudah lama terjadi di Indonesia, maupun dunia namun tidak mendapatkan perhatian. Hal itu baru mencuat ketika WHO merencanakan untuk meniadakan kemiskinan di dunia.

Bebas kelaparan menjadi salah satu parameter ketiadaan kemiskinan yang ada di negara tersebut dan mereka memerlukan satuan khusus yang dapat diukur. Kemudian terbentuklah suatu grafik mengenai baik atau tidaknya pertumbuhan anak dan terlihat di seluruh dunia bahwa ternyata banyak anak yang pendek.

"Karena populasi tersebut kemudian baru dibilang stunting. Setelahnya, dibuatlah kriteria angka stunting di bawah 20 persen," jelas Damayanti.

Padahal, tidak semua orang yang berperawakan pendek adalah orang yang stunting, karena perawakan pendek menjadi salah satu ciri orang stunting. Namun, apabila perawakan tersebut diakibatkan oleh kekurangan nutrisi jangka panjang, barulah seseorang dapat dikatakan stunting. "Jadi perawakan pendek karena asupan yang kurang tepat sementara kebutuhan nutrisi meningkat, dan lainnya," ujar Damayanti.

Untuk itu, anak, khususnya harus diukur dan dilihat perkembangan grafiknya dalam tabel yang dibuat oleh WHO guna mengetahui apakah anak tersebut termasuk kategori stunting atau tidak. Karena ada anak yang pendek karena masalah genetik dan diakibatkan oleh stunting. Maka dari itu, orang tua harus mengamati dengan cermat pertumbuhan buah hatinya.

"Stunting itu selalu diawali dengan penurunan berat badan secara terus menerus. Akibatnya, terjadi penurunan fungsi kognitif yang memicu terjadinya stunting. Yang sering terjadi adalah ketika sudah terjadi stunting," tutur Damayanti.

Ketika terjadi stunting, hal itu bisa diperbaiki jika anak berusia di bawah 2 tahun karena kemampuan kognitifnya masih belum sempurna. Sedangkan jika sudah di atas 2 tahun, ke depannya akan menjadi lebih sulit. Selain harus memakan makanan bergizi yang lebih baik, anak dengan stunting tidak akan bisa mencapai kemampuan kognitif seperti anak normal lainnya, apalagi ketika sudah melewati usia 2 tahun.

Karena pada 1000 hari pertama sejak anak lahir, otak sangat dipakai dalam tumbuh kembangnya. Ketika anak mendapat gizi yang baik, maka akan ada banyak saraf berkembang di otaknya yang dibutuhkan untuk kemampuan kognitifnya. Sedangkan jika kurang gizi, maka saraf tersebut akan memendek dan tidak banyak, yang tentunya mempengaruhi kemampuan kognitif anak tersebut. gma/R-1

Pemenuhan Gizi melalui Protein Hewani

Stunting bukanlah disebabkan oleh genetik, namun oleh faktor lingkungan. Seperti yang berkaitan dengan cara makan, asupan gizi yang diperoleh dan lainnya. Sehingga jika orang tua stunting, belum tentu anaknya stunting pula. Terlebih kalau anaknya diberikan gizi seimbang sesuai dengan kebutuhannya pada masa emasnya, yaitu 1.000 hari pertama sejak lahir.

Damayanti menceritakan, ia pernah bertemu dengan tiga generasi stunting dan hal itu disebabkan oleh pola makan yang bermasalah. Akibatnya, pola makan yang bermasalah itu memicu hambatan pada tumbuh kembang anak sehingga kemampuan kognitifnya terganggu. "Jadi yang diperbaiki harus lingkungannya, bukan karena genetiknya," ujarnya.

Untuk itu, pemenuhan gizi lengkap pada 1.000 hari pertama masa kehidupan memiliki peran yang krusial. Setelah pemberian ASI ekseklusif pada tahun pertama kehidupannya, anak juga membutuhkan makanan pendamping dengan kandungan karbohidrat, lemak dan protein, karena pada saat itu anak membutuhkan ketiga komponen zat gizi itu. Seringkali yang terjadi adalah orang tua memberikan sayur mayur pada bayinya sebagai makanan pendamping ASI.

"Itu salah kaprah sayur mayur kasih ke bayi, padahal itu gak utama karena sayur mayur itu jatuhnya serat. Setelah 2 tahun, baru bisa dikasih ke anak," ujar Damayanti.

Anak di bawah 2 tahun lebih membutuhkan konsumsi asupan protein hewani, namun faktanya di Indonesia hal itu masih tergolong rendah. Padahal, menurut Damayanti, investasi protein hewani sangatlah penting, mengingat kandungan asam amino esensial terlengkap ada pada protein hewani yang dapat membantu pertumbuhan dan kecerdasan otak.

Sumber protein hewani dapat ditemukan pada susu, telur, unggas, ikan serta daging. Namun, bukan berarti sayur mayur tidak memiliki kandungan asam amino esensial yang dibutuhkan oleh otak. Sayur mayur mempunyai protein tersebut, namun jumlahnya tidak sebanyak yang ada pada produk hewani sehingga kurang memenuhi kebutuhan gizi anak. gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top