Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
London Book Fair 2019

Pencarian Identitas yang Tertuang dalam Karya

Foto : London Book Fair 2019
A   A   A   Pengaturan Font

Kehadiran Indonesia sebagai Market Focus Country (MFC) di ajang pasar buku internasional London Book Fair (LBF) 2019, diisi dengan sejumlah acara, salah satunya panel diskusi di British Library yang menghadirkan Seno Gumira Ajidarma, Dewi Lestari, dan Agustinus Wibowo, pekan lalu, waktu setempat.

Acara diskusi dengan judul 17.000 Islands of Imagination: Indonesian Literature Today ini dipandu oleh Louise Doughty, penulis dan kritikus dari Inggris yang telah meraih sejumlah penghargaan atas karya-karyanya.

Salah satu bahasan dalam diskusi yang berlangsung hampir dua jam itu adalah mengenai identitas.

Seno Gumira Ajidarma menilai identitas adalah definisi yang tak bisa diisolasi kecuali dalam sebuah buku paspor. Bahkan ia menilai, pertanyaan-pertanyaan akan identitas sering kali membawa persoalan pada hidup.

Sementara Agustinus menilai bahwa identitas adalah sebuah persepsi, di mana pandangan ini ia peroleh dari pertanyaan dan pencariannya akan rumah yang membawanya melakukan perjalanan ke Tiongkok, Afghanistan dan negara-negara lainnya.

Sedangkan Dewi Lestari menyampaikan bahwa identitas adalah pencarian akan tujuan hidup di mana ia mendapatkan pertanyaan-pertanyaan filosofis ini yang mempengaruhi di semua karya-karyanya.

Ketiganya juga menyampaikan betapa kebudayaan yang bercampur dalam kehidupan mereka, membentuk jawaban-jawaban atas pertanyaan tentang Indonesia.

Agustinus sebagai penulis berketurunan Tionghoa, mencoba mencari identitasnya hingga memutuskan tinggal di Negara Tiongkok selama sembilan tahun.

"Tetap saja saat di sana, sebagai pemegang paspor Indonesia, saya merasa terasing," kata Agustinus.

Sementara Seno yang lahir di AS, merasakan kehidupan sebagai manusia berdarah Jawa kembali ke Yogyakarta.

"Kemudian saya belajar bahasa Indonesia dan di bahasa ini saya menemukan pembebasan terutama dari bahasa Jawa yang penuh tata krama," ujar Seno.

Adapun Dewi Lestari sebagai penulis berdarah Batak, justru merasa dirinya lebih memahami bahasa dan budaya Sunda karena lahir dan dibesarkan di Bandung, Jawa Barat.

"Namun saya tumbuh dengan membaca buku-buku Barat, seperti karya-karya Enid Blyton. Dan saya rasa sejak muda saya sudah terpapar oleh globalisasi," ujar Dewi.

Selain berdiskusi, ketiganya juga membacakan cuplikan-cuplikan karya mereka masing-masing.

Agustinus membacakan sepotong tulisannya tentang Tana Toraja, Seno membacakan cuplikan karya Saksi Mata, dan Dewi Lestari membacakan serta menyanyikan bagian novel terbarunya Aroma Karsa.

Diskusi dan pembacaan karya ini menambah pemahaman menarik bagi publik Inggris yang memadati ruang Knowledge Centre di British Library, akan keberagaman budaya di Indonesia.

Di acara yang diselenggarakan bekerja sama antara Badan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, British Library, dan British Council ini, Ketua Harian Panitia Pelaksana Indonesia MFC untuk LBF 2019, Laura Bangun Prinsloo menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung acara ini. "Kami mengharapkan kedatangan publik Inggris di 100 lebih acara yang telah kami susun untuk LBF 2019," ujar Laura.

Sementara Kepala Bekraf Triawan Munaf yang memberikan pidato penutup, turut menyampaikan harapannya akan kesuksesan acara ini mengingat industri penebitan memiliki potensi besar di industri kreatif Indonesia.

"Industri penerbitan memberikan kontribusi cukup besar bagi GDP, di mana penerbitan menempati urutan kelima," ujar Triawan Munaf.

Selain acara diskusi, Panitia Pelaksana Indonesia MFC untuk LBF telah menyelenggarakan sejumlah acara sejak 8 Maret 2019.

Di antaranya, pelajaran bahasa Indonesia dan pertunjukan musik kecapi suling di toko buku Foyles, pameran arsitektur di ruang-ruang publik dengan tema New Ways of Reading, The Indonesian Kebaya and Dressing with Cloth oleh Didiet Maulana di Kedutaan Inggris, dan Indonesian Board Games di Draughts Board Game Café di Waterloo, London.

The LBF adalah ranah pemasaran global bagi negosiasi hak cipta yang meliputi penjualan dan distribusi konten-konten intelektual dan kreatf meliputi bidang cetak, audio, TV, film, dan jaringan-jaringan digital. LBF 2019, yang merupakan bursa ke-48, berlangsung di Olympia London pada 12-14 Maret 2019.pur/R-1

Ranah Sastra Indonesia

Empat tahun silam, buku-buku karya penulis Indonesia diberi ruang istimewa untuk dipamerkan dalam Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Saat itu Indonesia diundang penyelenggara pameran sebagai Tamu Kehormatan.

Dalam LBF 2019, Indonesia mendapat kehormatan sebagai MFC, artinya Indonesia menjadi fokus pasar transaksi buku, hak cipta, dan hak penerjemahan buku.

Semakin seringnya karya-karya penulis Indonesia ditampilkan di ajang internasional bergengsi seperti ajang pameran buku di Eropa, semakin terbukalah peluang bagi para penulis untuk melambungkan nama mereka di ranah global.

Bukan cuma sekadar memajang karya penulis Indonesia, LBF 2019 juga diisi beragam diskusi dengan menghadirkan para penulis dan penerjemah serta pakar pemerhati sastra Indonesia.

Tema-tema yang akan diperbincangkan antara lain Sastra Indonesia sebagai Studi Kasus. Pada sesi yang berlangsung pada 12 Maret itu tampil para pakar antara lain Chanwoo Park, Jerome Bouchard, Judith Ujterlinde dalam diskusi panel yang dipimpin Susan Harris.

Tema tentang Keberagaman Identitas Indonesia dibincangkan penulis perjalanan Agustinus Wibowo, yang karyanya berkisah tentang pengembaraannya ke Tiongkok, Afghanistan, Asia Tengah, Papua Nugini dan Suriname. Ambil bagian dalam tema ini adalah Will Harris, penulis berdarah campuran Anglo-Indonesia yang lahir dan tinggal di London. Harris menulis puisi dan kumpulan puisinya bertajuk Rendang akan terbit pada 2020.

Sementara Seno Gumira Ajidarma menerbitkan dua fiksi tentang masa lalu Indonesia yang penuh onak di Timor Timur. Leila S. Chudori menulis pengalaman kaum eksil dan penculikan aktivis politik. Louise Doughty, penulis fiksi yang juga jurnalis, menulis tentang kengerian 1965.

Pada panel diskusi hari kedua, pegiat sastra sekaligus esais dan penyair terkemuka Goenawan Mohamad didampingi pegiat sastra Janet De Neefe dan Laura Prinsloo bicara tentang semakin maraknya usaha mempromosikan sastra lewat berbagai festival dan program dukungan jagat literer. Ini terjadi sejak kehadiran Indonesia di FBF 2015.

Promosi semacam itu dapat membantu menaikkan citra Indonesia sebagai sumber inspirasi yang kaya bagi penulis atau sastrawan. Panel diskusi yang dipimpin Claudia Kaiser ini diberi tajuk Dari Halaman Setempat menuju Pentas Dunia.

Pamor Indonesia di bidang sastra di tingkat internasional sebelumnya berpusat kepada karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang menulis tetralogi Pulau Buru. Karya-karya Pram sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa penting dunia.

Namun belakangan muncul nama baru seperti Eka Kurniawan yang melejit di pentas sastra dunia lewat novelnya bertajuk Man Tiger, yang meraih sejumlah anugerah sastra internasional. pur/R-1

Komentar

Komentar
()

Top