Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Utang I Pemerintah Perlu Segera Kurangi Beban Belanja Birokrasi

Penambahan Utang Tak Disertai Aktivitas Produksi yang Hasilkan Devisa

Foto : DOK ANTARA

AKTIVITAS PRODUKSI EKSPOR I Kegiatan pekerja di sebuah pabrik sepatu di Banten. Pemerintah menargetkan nilai ekspor alas kaki (sepatu dan sandal) nasional mencapai 5,28 miliar dollar AS atau setara 76,22 triliun rupiah pada 2021, tumbuh 10 persen dibanding tahun lalu 4,80 miliar dollar AS.

A   A   A   Pengaturan Font

» Pemerintah perlu segera melakukan renegoisasi pembayaran utang.

» Pemerintah juga mesti menekan celah korupsi baik di sisi penerimaan maupun sisi belanja.

JAKARTA - Beban utang pemerintah semakin berat. Hal ini seiring dengan meningkatnya utang guna memenuhi kebutuhan pembiayaan yang sangat besar akibat dampak pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda.

Data di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan, alokasi anggaran pembayaran bunga utang pemerintah tahun 2021 mencapai 373,3 triliun rupiah dari total utang sebesar 6.527,3 triliun rupiah per April 2021. Jumlah pembayaran bunga tersebut naik 18,8 persen dibanding realisasi pembayaran bunga utang pemerintah pada 2020 yang senilai 314,1 triliun rupiah.

Masalah utama terkait utang Indonesia adalah bukan pada penambahan utangnya, tetapi penambahan utang yang tak disertai dengan peningkatan produktivitas dalam aktivitas produksi yang menghasilkan devisa. Yang ada justru jauh dari kegiatan itu, banyak disia-siakan untuk aktivitas ekonomi konsumtif yang berbasis impor.

Demikian pendapat dari Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira yang dihubung Koran Jakarta, Minggu (27/6).

Menurut Bhima, ketika penerbitan utang valas naik maka pemerintah sudah seharusnya mencari jalan untuk mendorong sektor manufaktur berorientasi ekspor, dan menyiapkan tenaga kerja yang ber-skill tinggi sehingga devisa yang dihasilkan bisa menutup kebutuhan valas untuk membayar cicilan dan bunga utang luar negeri.

Karena itu menurut Bhima, pemerintah perlu segera melakukan renegoisasi pembayaran utang. Ia mencatat, IMF dan Bank Dunia telah berkomitmen mengurangi beban utang negara-negara yang terdampak pandemi. Komitmen ini juga didukung pernyataan Antonio Guterres, sekjen PBB yang meminta kepada para kreditur agar utang negara berpendaptan menengah ditunda pembayarannya hingga 2022.

Indonesia saat ini juga turun kelas dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah kebawah karena pandemi. Karena turun kelas (downgrade) maka Indonesia, menurut Bhima, masuk dalam kategori negara yang pembayaran utangnya bisa ditunda.

"Langkah ini bisa dimulai dengan buka renegosiasi utang mirip seperti Paris Club atau skenario debt swap. Pemerintah kan pernah coba skenario debt swap yakni menukar utang yang ada dengan program misalnya dengan Jerman soal pendidikan dan Italia soal rekonstruksi pascabencana tsunami Aceh. Apakah pandemi ini bukan bencana? Jelas ini bencana yang jadi kesempatan untuk kurangi beban utang bukan sebaliknya," papar Bhima.

Selanjutnya, pemerintah perlu segera mengurangi beban belanja birokrasi seperti belanja pegawai dan belanja barang. Di rata-rata daerah bahkan diatas 30 persen porsi belanja pegawai terhadap total APBD, ditemukan juga daerah dengan porsi belanja pegawai diatas 50 persen. Itu membuat belanja tidak produktif, padahal sebagian diperoleh dari penerbitan utang.

Dan, pemerintah juga mesti menekan celah korupsi baik di sisi penerimaan maupun sisi belanja pemerintah. "KPK harusnya dikuatkan untuk mengawal penerimaan pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), maupun pada saat pencairan anggaran untuk meminimalisir kebocoran anggaran," tandas Bhima, lulusan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM itu.

Empat Solusi

Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti menawarkan sejumlah solusi untuk mengatasi masalah bunga utang. Pertama, mengalokasikan dana utang untuk kegiatan prioritas yang produktif, bukan ke sektor konsumtif supaya bisa menggerakkan ekonomi rakyat. "Itu kan bisa menjadi tambahan sumber penerimaan baru bagi negara sehingga bisa membayar cicilan dan bunga utang," ujarnya.

Solusi kedua lanjut Esther ialah semua pengeluaran anggaran dari dana utang harus jelas transparansinya dan dilakukan monitoring serta evaluasinya. Ketiga, pengeluaran anggaran dari dana utang harus jelas key performance indicator-nya, artinya dana utang digunakan apakah sesuai dengan tujuan awal utang dan bagaimana capaian indikator keberhasilannya.

"Misalnya, dana utang diambil untuk tujuan mengentaskan kemiskinan, maka apakah dengan alokasi anggaran dana utang itu bisa mengurangi kemiskinan? Kalau iya, sebesar berapa persen tingkat kemiskinan berkurang," ungkap peraih gelar doktor dari Maastricht University, Belanda itu.

Keempat tambah dia, alokasi anggaran dana utang harus jelas skenario finansial penggunaan anggarannya. "Tujuannya dana utang manageable dan sesuai dengan time frame-nya, sehingga dapat dikembalikan tepat waktu,"tutur Esther yang juga pengajar di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Ekonomi Kerakyatan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Munawar Ismail, menegaskan utang yang ditarik hendaknya digunakan secara produktif untuk memutar perekonomian. Jika lebih banyak untuk hal-hal yang bersifat konsumtif, negara akan lebih kesulitan keluar dari middle income trap.

"Utang kita memang sebelumnya banyak untuk infrastruktur dengan harapan akan terasa dampak ekonominya sebelum jatuh tempo. Tapi sekarang agar dapat keluar dari middle income trap, penggunaannya harus untuk hal yang produktif seperti memacu serapan produksi di dalam negeri dengan buatan sendiri. Tetapi kalau untuk yang bersifat konsumtif maka akan menekan pertumbuhan kita," katanya.

Dengan kondisi ekonomi yang belum menggairahkan seperti sekarang, menaikkan pajak bukan solusi yang tepat, karena justru memukul daya beli yang berujung menghambat pertumbuhan. Maka pemerintah harus selektif dalam program stimulus dampak pandemi ini, bukan hanya memilih program yang sanggup memberikan keuntungan, tapi dampaknya bisa cepat dirasakan.

"Kalau menambah utang, apakah kita masih aman ke depan? Dan piutang negara dari Obligasi Rekap BLBI misalnya, harus segera ditagih. Itu akan menjadi dana segar yang luar biasa yang tidak memberatkan masyarakat," katanya.

n YK/ers/SB


Redaktur : Selocahyo Basoeki Utomo S
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top