Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kondisi Ekonomi I Indonesia Perlu Mendiversifikasi Negara Tujuan Ekspor

Pemerintah Terkesan Remehkan Situasi Ekonomi Terkini

Foto : Sumber: BPS, World Bank - kj/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil menteri-menteri bidang ekonomi ke Istana Negara untuk mengikuti rapat terbatas yang membahas kondisi perekonomian terkini. Menko Perekonomian Airlangga seusai ratas mengatakan agenda yang dibahas di antaranya komunikasi dengan tim transisi pemerintahan baru ke depan dan permintaan Presiden untuk memperpanjang masa restrukturisasi kredit.

Menko juga menyatakan kalau kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini relatif lebih baik jika dibandingkan dengan negara lainnya. Hal itu, katanya, yang mendorong Bank Dunia merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 menjadi 5,1 persen dari sebelumnya 4,9 persen.

"Bank Dunia baru saja menaikkan growth forecast Indonesia di tahun 2024 dari yang tadinya 4,9 persen menjadi 5,0 persen, dan untuk tahun 2025 dari 4,9 persen menjadi 5,1 persen. Di tengah perekonomian dunia mengalami tekanan inflasi tinggi, inflasi Indonesia juga terus terjaga dalam rentang target sasaran di bawah 3 persen," kata Airlangga dalam konferensi pers kondisi fundamental ekonomi terkini dan RAPBN 2025, di Jakarta, Senin (24/6).

Menanggapi pernyataan Menko itu, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, menyayangkan statement Airlangga yang terkesan meremehkan situasi ekonomi saat ini sehingga "kelewat" optimis dalam membayangkan ekonomi Indonesia dan dunia ke depan.

Padahal, serangkaian kelangkaan pangan dan juga energi benar-benar telah memukul daya beli sebagian besar masyarakat dunia yang dibuktikan dengan angka-angka konsumsi yang belum meningkat.

"Terutama statement inflasi Indonesia terjaga di level 3 persen. Padahal di saat yang sama, tidak ada peningkatan pendapat masyarakat," kata Aditya.

Menurut Aditya, inflasi yang rendah tidak selalu berarti kondisi ekonomi yang baik. Daya beli masyarakat perlu diperhatikan. Jika pendapatan masyarakat tidak naik seiring dengan kenaikan harga, meskipun inflasi rendah, daya beli mereka tetap akan tergerus.

"Oleh karena itu, selain melihat angka inflasi, penting juga untuk mengevaluasi perubahan pendapatan riil masyarakat dan bagaimana inflasi mempengaruhi kualitas hidup mereka. Kalau kita lihat kan kualitas gizi masyarakat makin turun. Apa indikatornya? Mi instan terus tumbuh pendapatannya dan angka stunting tidak pernah turun," papar Aditya.

Airlangga, menurut Aditya, juga mengabaikan disparitas inflasi antardaerah di Indonesia. Daerah-daerah tertentu di Indonesia mengalami inflasi yang lebih tinggi karena berbagai faktor, seperti distribusi barang yang tidak merata, biaya transportasi yang tinggi, dan infrastruktur yang kurang memadai.

"Pengukuran inflasi nasional bisa saja mengaburkan perbedaan ini sehingga pernyataan bahwa inflasi terkendali di bawah 3 persen mungkin tidak relevan bagi daerah-daerah yang mengalami inflasi lebih tinggi. Banyak daerah seperti Papua, kurang pangan dan gizi buruk sampai membunuh warga," kata Aditya.

Bisa Meleset

Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan proyeksi Bank Dunia masih bisa meleset karena beberapa indikator menunjukkan tekanan di sektor riil.

Penjualan kendaraan bermotor sepanjang kuartal I 2024 anjlok, inflasi bahan makanan tembus 10 persen secara year on year (yoy) dibarengi dengan masih tingginya suku bunga.

"Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri masih terus berlanjut yang belum mampu ditutup oleh investasi padat karya yang baru," jelasnya.

Dia pun menyoroti regulasi yang terkesan mempermudah masuknya barang impor seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Beleid ini berdampak besar pada industri padat karya seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Selain itu, pemerintah juga belum mampu mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah yang terus terjadi beberapa waktu terakhir. "Pelemahan nilai tukar membuat produsen harus mengeluarkan biaya besar untuk impor bahan baku dan barang modal," kata Bhima.

Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta, A Gunadi Brata mengatakan, ada banyak tantangan pelik yang dihadapi ekonomi nasional di tahun 2024. Tiga persoalan terpenting adalah inflasi yang dipicu kenaikan harga pangan di tingkat global, melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, dan kebijakan ekonomi AS khususnya dari the Fed.

Dampak langsungnya, tambah dia, terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, harga barang dan jasa meningkat signifikan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top