Pemerintah Tegaskan Tak Ada Lagi Amnesti Pajak
JAKARTA - Pemerintah tak akan lagi mengadakan program pengampunan pajak seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Sebab, hal tersebut dikhawatirkan dapat menciptakan mentalitas wajib pajak yang tidak baik.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyebutkan permanent tax amnesty atau program pengampunan pajak atau program yang serupa yang dilakukan terus-menerus dapat berdampak buruk terhadap kepatuhan pajak masyarakat dalam jangka panjang.
"Karena orang akan mencicil kepatuhan. Sekarang dicicil pelaporannya, berharap tahun depan ada pengampunan lagi. Ini buruk bagi kewibawaan otoritas dan mengurangi trust kepadanya," katanya dalam Rilis Survei Indikator Politik Indonesia yang dipantau di Jakarta, Minggu (31/7).
Dia mengatakan selepas PPS ditutup pada akhir Juni 2022, masih terdapat pihak yang menginginkan program serupa dilanjutkan atau diulang.
"Ada yang ingin program ini diulang karena belum mengetahui. Padahal selama delapan bulan sejak Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) kami sudah mensosialisasikan tetapi masih banyak yang belum paham," katanya.
Dia tidak menyepakati pengulangan PPS dan berharap pelaku usaha serta anggota legislatif mendukung langkah pemerintah ini. "Kami tidak menyepakati ini, dan harusnya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan pengusaha juga tidak sepakat karena dapat menciptakan mentalitas yang tidak baik," ucapnya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan melaporkan pemerintah berhasil mengumpulkan Pajak Penghasilan (PPh) senilai 61,01 triliun rupiah dari 247,91 ribu wajib pajak dari PPS yang dilaksanakan sepanjang awal Januari sampai akhir Juni 2022. Pendapatan pajak sepanjang semester I-2022 mencapai 868,3 triliun rupiah atau tumbuh 55,7 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Kepercayaan Masyarakat
Pada kesempatan sama, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (Indikator) Burhanuddin Muhtadi menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat paling besar kepada otoritas pajak terlihat pada pernyataan bahwa pajak merupakan bentuk dari prinsip gotong royong.
"Ini masukan untuk DJP (Direktorat Jenderal Pajak) kalau ingin meningkatkan kepercayaan publik kepada kinerja otoritas pajak, otoritas perlu terus mensosialisasikan bahwa pajak merupakan bagian dari prinsip gotong royong," kata Burhanuddin.
Survei yang dilakukan dengan metode Random Digit Dialing (RDD) terhadap 1.246 responden tersebut menunjukkan sebanyak 43 persen dari total responden mempercayai pajak merupakan bentuk dari prinsip gotong royong. Hanya saja, menurut dia, otoritas pajak masih memiliki pekerjaan rumah untuk meningkatkan kepercayaan publik terkait penggunaan uang pajak.
Berdasarkan survei sama, sebanyak 32 persen responden kurang mempercayai bahwa uang pajak telah digunakan dengan sebaik-baiknya untuk pembangunan dan kepentingan rakyat. "Lebih banyak responden yang kurang mempercayai pernyataan ini, ketimbang responden yang percaya, yang hanya 27 persen," katanya.
Kepercayaan masyarakat terkait penggunaan uang pajak perlu ditingkatkan tidak hanya oleh DJP Kementerian Keuangan, tetapi juga kementerian, lembaga, dan otoritas pemerintahan lain. Ke depan, DJP Kementerian Keuangan juga perlu lebih banyak mengkomunikasikan ke publik bahwa tidak ada lagi karyawan DJP yang melakukan penyalahgunaan penggunaan pajak.
"Itu prestasi yang harus disampaikan kepada publik, kalau tidak, kepatuhan pembayaran pajak bisa berkurang. Tapi ini kerja kolosal yang membutuhkan sinergi banyak pihak terutama kalangan legislatif," ucapnya.
Redaktur : Muchamad Ismail
Komentar
()Muat lainnya