Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pemerintah I Tingkatkan Penyaluran Dana Bansos

Pemerintah Jangan Semakin Bebani Rakyat dengan Hapus BBM Murah

Foto : ISTIMEWA

TAUHID AHMAD Direktur Eksekutif Indef - Konsumen BBM RON 90 ini sangatlah besar yakni di atas 50 persen dari dari total pelanggan gasoline. Jika ini dihapus, dampaknya bakal sangat besar karena menghancurkan daya beli masyarakat.

A   A   A   Pengaturan Font

» Pemerintah harus menjaga tercukupinya pasokan kebutuhan pokok di pasaran.

» Beri kesempatan rakyat untuk bernapas sedikit, setelah lama dihantam pandemi.

JAKARTA - Pemerintah jangan membebani masyarakat secara bersamaan di tengah pandemi, dengan menghapus bahan bakar minyak (BBM) murah seperti pertalite dan premium di tengah melonjaknya kenaikan harga kebutuhan pokok, mulai dari minyak goreng, telur, hingga cabai serta naiknya harga LPG.

"Tunda dulu penghapusan BBM pertalite dan premium. Supaya tidak memberatkan masyarakat bawah, sebenarnya kenaikan harga sembako ini bisa diimbangi dengan penyaluran dana bansos yang baik, juga operasi pasar," kata pengamat kebijakan publik, Achmad Nur Hidayat, kepada Koran Jakarta, Kamis (30/12).

Hidayat menyarankan pemerintah bisa menekan lonjakan harga kebutuhan bahan pokok dengan menjaga tersedianya pasokan kebutuhan pokok di pasaran. Dengan stok yang cukup di tingkat konsumen maka dipastikan harga minyak goreng, telur, cabai, tidak akan melonjak.

"Di tengah himpitan naiknya harga elpiji, minyak goreng, telur, cabai, pemerintah akan menghapus BBM pertalite dan premium. Ini akan membuat masyarakat makin menjerit. Beban hidup makin berat. Daya beli masyarakat akan turun drastis," katanya.

Data menunjukkan kenaikan LPG nonsubsidi menyebabkan masyarakat pindah ke gas melon atau elpiji bersubsidi. Menurut Hidayat, kenaikan LPG nonsubsidi disebabkan peningkatan harga pada contact price aramco CPA LPG. Kenaikannya sebesar 1.600 rupiah sampai 2.600 rupiah per kilogram.

Tak Habis Pikir

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, mengaku tak habis pikir dengan rencana pemerintah yang akan menghapus pertalite dan premium tahun depan. Kendatipun penyelenggara kebijakan beralasan itu akan dilakukan secara bertahap, tetapi itu tetap di luar akal sehat.

"Tahun depan kan ada kenaikan PPN (pajak pertambahan nilai) begitu juga rencana kenaikan tarif listrik. Mana ada pengusaha yang mau rugi, tentu ketika PPN naik imbasnya ke konsumen. Multiplier effect-nya itu yang dipikirkan. Konsumen itu siapa, yah masyarakat juga," kata Tauhid.

Lalu sekarang, lanjut dia, ada rencana menghapus pertalite dan premium yang nyata-nyata pelanggannya banyak orang miskin. Lebih dari 27 juta penduduk itu atau 10 persen dari total populasi RI itu di bawah garis kemiskinan. "Bagaimana bisa pemerintah tidak beri kesempatan bagi rakyatnya untuk bernapas sedikit, setelah lama dihantam pandemi," tegas Tauhid.

Ia mengingatkan, tahun depan masyarakat kalangan bawah yang terkena dampak pandemi belum tentu mendapatkan pekerjaan. Pemerintah belum bisa menjamin apakah mereka sudah bisa bekerja atau belum tahun 2022. Lalu, tiba tiba dihantam lagi dengan kebijakan kenaikan harga LPG.

"Ini bisa mengurangi daya beli masyarakat, padahal pemerintah lagi mendorong pemulihan, tetapi kebijakannya justru menghancurkan konsumsi," ujar Tauhid.

Dari langkah ini, papar dia, inflasi tahun depan akan meningkat di atas tiga persen. Ketika harga-harga kebutuhan pokok meningkat itu akan meningkatkan batas garis kemiskinan. Padahal, tujuan kehadiran negara mengentaskan kemiskinan, bukan justru menambah angka kemiskinan baru.

Yang harus dilakukan pemerintah ialah memperluas bantuan sosial (bansos). "Tetapi jumlahnya dinaikkan, jangan hanya kasih 400-600 ribu. Berikan kompensasi yang lumayan, yang bisa membikin orang bertahan hidup," tegas dia.

Khusus untuk pertalite, Tauhid menegaskan konsumen BBM research octane number (RON) 90 ini sangatlah besar yakni di atas 50 persen dari dari total pelanggan gasoline. Jika ini dihapus, dampaknya bakal sangat besar karena menghancurkan daya beli masyarakat yang selama ini bergantung ke pertalite.

Secara terpisah, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi (IE) Institut Pertanian Bogor (IPB), Sahara, berharap penyelenggara negara tidak gegabah dengan kebijakan yang membebani rakyat. Sebaiknya regulator fokus menjaga agar konsumsi tetap terjaga, tidak anjlok, sebab belanja rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dalam struktur perekonomian Indonesia.

Bank Dunia, kata dia, telah mematok pertumbuhan RI di angka 5 persen tahun depan, tetapi itu dengan asumsi kasus Covid-19 tidak meledak lagi, begitu juga variabel lain termasuk inflasi. "Pemerintah harus fokus saja dulu mengendalikan kasus Covid-19, jangan memukul daya beli masyarakat yang ekonominya lagi dalam proses pemulihan," ujarnya.

Gunakan RON Tinggi

Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan bahwa ternyata saat ini tidak ada kebijakan menghapus BBM jenis Pertalite. Dia membantah pengapusan BBM RON 90 itu.

"Tidak ada kebijakan hari ini yang untuk menghapuskan Pertalite, itu tidak ada," kata Nicke di Istana Wakil Presiden, Selasa (28/12), dikutip dari keterangan video.

Menurut Nicke, yang dilakukan Pertamina saat ini adalah mengedukasi masyarakat, untuk menggunakan BBM dengan kadar oktan atau RON yang lebih tinggi. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2017 yang merekomendasikan agar BBM yang dijual di pasaran minimum RON 91.

Ia menuturkan, sejak pertengahan 2020 lalu Pertamina telah melalukan program Langit Biru untuk mendorong masyarakat agar beralih dari BBM Premium ke Petralite.

Tahap berikutnya, kata Nicke, Pemerintah akan mendorong masyarakat untuk menggunakan BBM yang sesuai dengan ketentuan minimum RON 91 yakni Pertamax.

Oleh karena itu, Nicke menegaskan, yang akan dilakukan Pertamina ke depan adalah mengedukasi masyarakat agar mau beralih, tetapi bukan berarti Pertalite akan dihapus dari pasaran.

"Jadi Pertalite ini masih ada di pasar, jadi silakan, tapi kami mendorong agar menggunakan yang lebih baik yaitu Pertamax supaya kita bisa memberikan kontribusi terhadap penurunan karbon emisi di Indonesia," kata Nicke.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top