Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Krisis Makanan I Indonesia Harus Swasembada Pangan guna Penuhi Kebutuhan Domestik

Pemerintah Harus Tanggap Tangani Lonjakan Harga Pangan Dunia

Foto : Sumber: FAO - KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Indonesia dituntut tanggap menangani tren lonjakan harga pangan dunia agar dampaknya tidak separah di negara-negara lain. Hal itu mengacu pada pernyataan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo, yang menyebutkan kalau realita yang terjadi saat ini adalah harga pangan dunia sedang dalam tren naik.

Jika masih terus bergantung pada komoditas pangan impor di tengah tren kenaikan harga pangan dunia ditambah kurs rupiah yang merosot terhadap dollar Amerika Serikat (AS), akan sangat membebani keuangan negara.

Pemerintah tidak punya pilihan selain harus punya kemauan politik (political will) untuk tidak bergantung lagi pada pangan impor, tetapi mengupayakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan produksi dalam negeri.

Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Masyhuri, mengatakan kalau pemerintah berkomitmen mengurangi kebergantungan pada impor pangan maka secara perlahan porsinya dikurangi, dan di sisi lain, produktivitas pertanian di dalam negeri tidak boleh turun, bahkan kalau bisa ditingkatkan.

Untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas, irigasi harus diperbaiki, begitu pula perlunya jaminan ketersediaan benih dan pupuk ditambah pendampingan ke petani mengenai pola tanam dan teknologi terkini.

"Di Jawa dulu panen padi dan tanaman pangan lain bisa empat kali setahun, terus turun jadi tiga kali, lalu dua kali, bahkan di beberapa tempat sawah tadah hujan malah panen sekali setahun saja," kenang Masyhuri.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), paparnya, sudah membangun banyak bendungan dan embung, tapi saluran irigasi terutama tersier banyak yang rusak dan belum diperbaiki.

Di negara-negara lain, seperti Israel, Afrika Selatan, dan Tiongkok sudah memanfaatkan air laut yang difilter sampai kadar yang cukup untuk pertanian. Kondisi tersebut sangat kontras dengan di Indonesia yang masih punya banyak air tawar, petani masih kekurangan air untuk bercocok tanam. "Kita punya pulau terluar yang bisa meningkatkan jumlah lahan dan produktivitas asal didukung dengan teknologi terkini dan sungguh-sungguh secara berkelanjutan," kata Masyhuri.

Dengan luas lahan yang cukup dan faktor peningkatan produksi yang tercukupi maka generasi muda akan tertarik terjun ke pertanian. Pada gilirannya akan muncul etos baru dan teknologi baru lagi dari anak-anak muda tersebut.

"Sekarang lahan sempit, anak muda keluar dari pertanian sehingga sumber daya manusia (SDM) pertanian kita juga kalah bersaing dengan negara-negara tetangga," tandas Masyhuri.

Berkaitan dengan impor, Masyhuri mengatakan sangat wajar kalau banyak kalangan menduga memang ada unsur kesengajaan untuk menciptakan Indonesia selalu dalam kekurangan pangan karena impor pangan dari tahun ke tahun terus meningkat. Peningkatan itu karena memang ada keuntungan besar dari aktivitas impor pangan tersebut yang dinikmati segelintir kelompok.

"Berdekade-dekade produktivitas kita relatif tidak meningkat karena lahan pertanian menyusut, produktivitas tidak bertambah. Jadi kalau mau tidak dituduh sengaja impor, ya parameter peningkatan produktivitas dan pengurangan impor pangan harus dipenuhi," kata Masyhuri.

Mengenai luasan lahan pertanian, Indonesia sudah memiliki UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Namun sampai saat ini, di lapangan tidak ditegakkan sehingga lahan pertanian susut hingga 100 ribu hektare per tahun.

"Semestinya kalau produksi mau cukup, lahan justru harus bertambah, bukan malah berkurang," kata Masyhuri.

Kebijakan Reaksioner

Sementara itu, peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan pemerintah tidak menyikapi kenaikan harga pangan global dengan memacu peningkatan produksi dalam negeri, tetapi menunggu harga naik baru bertindak membantu rakyat sebagai konsumen.

"Kebijakan kita adalah kebijakan reaksioner, bukan preventif. Ini yang harus diubah," tegas Huda.

"Paling mudah dalam kebijakan ini, ya impor. Seharusnya kebijakan preventif seperti membeli gabah dengan harga tinggi sehingga stok Bulog melimpah, petani pun terpacu untuk berproduktivitas lebih tinggi," katanya.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan harga pangan dunia sulit dikontrol sehingga antisipasinya hanya dengan swasembada pangan. "Masalahnya sekarang, komitmen swasembada pangan itu lemah," kata Esther.

Secara terpisah, Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan kritik adanya pencari rente dari permainan impor pangan yang merugikan rakyat harus diperhatikan pemerintah dan menghentikan praktik tersebut.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top