Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Revisi KUHP - Delik Korupsi Masuk KUHP, Eksistensi KPK Terancam

Pemberantasan Korupsi Sulit Dilakukan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Polemik mengenai eksistensi KPK kembali mengemuka. Kali ini dipicu oleh prokontra perlu tidaknya delik korupsi masuk dalam revisi KUHP. Para pegiat antikorupsi menentang pemasukan delik korupsi di KUHP.

Jakarta - Rrencana memasukan delik korupsi masuk dalam Rancangan KUHP ditolak sejumlah pegiat antikorupsi, salah satunya dari Abdul Fickar Hadjar yang juga pakar hukum pidana dan Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Alasannya, masuknya delik korupsi dalam RKUHP mempunyai konsekuensi yang akan mengancam upaya pemberantasan korupsi.

"Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang menjalankan fungsi penindakan berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akan kehilangan dasar hukumnya," kata Fickar di Jakarta, Minggu (17/6).

Selain itu lanjut Fickar, isi dari pasal yang dimasukkan ke dalam RKUHP pun, banyak menimbulkan persoalan. Diantaranya adalah tidak diaturnya tentang mekanisme pembayaran uang pengganti serta rendahnya hukuman denda yang akan dikenakan kepada pelaku korupsi.

Hal lain yang tak kalah penting yakni tindak pidana korupsi akan terdegredasi menjadi tindak pidana biasa, bukan lagi menjadi extraordinary crime. " Ini menandakan bahwa penanganan perkara korupsi akan kembali dilakukan dengan cara-cara yang konvensional," kata dia.

Jika delik korupsi dipaksakan masuk KUHP, kata Fickar, komitmen bangsa Indonesia untuk pemberantasan korupsi menjadi diragukan. Padahal korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistemik dan meluas. Bahkan tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

Karena itu, sebaiknya pengesahan RKUHP khususnya yang memasukan tindak pidana korupsi ditunda lebih dahulu, sebelum ada kajian-kajian yang komprehensif. " Terutama agar tidak menggangu komitmen kita sebagai bangsa untuk membersihkan korupsi dari bumi Indonesia," ujarnya.

Mantan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Chaerul Imam juga sependapat. Menurut dia, berbeda dengan Herzien Inlandsch Reglement (HIR), penanganan perkara pidana oleh KUHAP diatur terkotak-kotak. Penyidikan oleh polisi, penuntutan dan eksekusi oleh jaksa dan putusan pidana oleh hakim. Ini berlaku pada tindak pidana yang ada pada KUHP.

Pidana Khusus

Sedangkan untuk aturan-aturan administratif yang mengandung kriminalisasi di dalamnya seperti UU Kehutanan, UU Pengawasan Obat dan Makanan, UU Lalu lintas, penyidiknya adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kementerian masing-masing." Tetapi, ada tindak pidana murni yang diatur di luar KUHP dan menggunakan hukum acara sendiri seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana HAM, yang disebut tindak pidana khusus," katanya.

Jadi tindak pidana umum, kata dia, diatur dalam KUHP, menggunakan hukum acara KUHAP. Penyidiknya adalah polisi. Sedangkan tindak pidana khusus, diatur tersendiri di luar KUHP dan menggunakan hukum acara seperti diatur dalam UU-nya sendiri. Di sinilah letak sifat "umum" dan "khusus" dari suatu tindak pidana. " Persoalannya sekarang adalah bagaimana kalau Tipikor dimasukkan dalam KUHP? Jelas dia menjadi tindak pidana umum, yang konsekwensinya adalah penyidiknya hanya polisi," katanya.

Jaksa dan KPK, lanjut Chaerul Imam, tidak lagi bisa menyidik. Pertanyaannya bagaimana kalau UU No 31 Tahun 1999 tentang tipikor jo UU No 20 Tahun 2001 tetap berlaku? Maka akan berlaku adagium, digunakan ketentuan yang meringankan terdakwa. Berarti digunakan KUHP.

ags/AR-3

Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top