Pembangunan Harus Dimulai di Sentra Penduduk Miskin di Desa
EKONOMI VIETNAM TUMBUH PESAT I Gedung-gedung tinggi di Ho Chi Minh City, Vietnam, tumbuh sangat pesat dalam 20 tahun terakhir menunjukkan pesatnya pertumbuhan ekonomi di Vietnam.
Foto: NHAC NGUYEN/AFP» Birokrasi untuk membuka usaha di Indonesia lebih rumit dan berjenjang, sedangkan Vietnam hanya satu langkah.
» Masyarakat Indonesia cenderung konsumtif sehingga impor tinggi, berbeda dengan Vietnam yang masyarakatnya lebih produktif.
JAKARTA - Pendapatan per kapita Indonesia saat ini hampir disalip oleh Vietnam. Padahal pada 1990, pendapatan per kapita Indonesia masih lima kali dari Vietnam, tapi sekarang hanya 1,1 kali. Parahnya lagi, pendapatan perkapita Indonesia saat ini terbilang semu karena terlalu banyak disumbang oleh seglintir orang kaya yang banyak menguasi sumber daya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, di Jakarta, belum lama ini mengatakan perhitungan pendapatan per kapita saat ini berdasarkan atlas method di mana angkanya terus berubah.
Target dalam lima tahun ke depan, dengan asumsi pendapatan per kapita bisa tumbuh 6 persen setiap tahun maka bisa mencapai 7.000 dollar AS.
"Kita bisa sampai dengan 7.000 dollar AS itu bagus sekali, nanti basis untuk ke depan bisa naik lagi," kata Suharso.
Saat ini, pendapatan per kapita Indonesia baru 4.140 dollar AS atau 5,9 persen dari pendapatan per kapita AS. "Kita ingin menjadi 20 persen dari pendapatan per kapita AS pada masa yang akan datang dan itu artinya naiknya 3,4 kali lipat," kata Suharso.
Dia mengakui untuk menaikkan pendapatan per kapita, tidak mudah. Sebab, Indonesia masih masuk di dalam lower middle income dengan pendapatan 1.086-4.255 dollar AS atau sedikit lagi masuk ke upper middle income dengan pendapatan 4.256-13.205 dollar AS.
Menanggapi hal itu, pakar ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, mengatakan Indonesia merupakan negara besar dengan penduduk dari berbagai macam budaya, sehingga menghasilkan perilaku ekonomi yang beraneka ragam. Pola konsumsi dan produksi yang beraneka ragam inilah yang membuat pemerintah Indonesia lebih sulit dalam merumuskan kebijakan ekonomi, dibandingkan Tiongkok dan Vietnam.
Tiongkok dan Vietnam lebih mudah untuk mengarahkan masyarakatnya untuk beraktivitas produksi lebih banyak dibandingkan konsumsi (labor-leisure), sementara Indonesia tidak semudah itu.
Indonesia adalah negara tersantai di dunia. Pemerintah tidak bisa memaksa masyarakatnya untuk mengurangi leisure, karena banyak sekali aktivitas yang berkaitan dengan budaya atau agama, misalnya mengurangi jam kerja, menambah hari libur nasional/cuti bersama.
Sedangkan perekonomian Tiongkok dan Vietnam masih banyak dikendalikan oleh pemerintah (ekonomi terpimpin), sementara Indonesia lebih diserahkan kepada pasar.
Secara historis dan budaya pun, Tiongkok lebih nyaman bertransaksi dengan Vietnam karena memiliki lebih banyak kesamaan dibandingkan Indonesia.
Dengan demikian, Vietnam dapat dengan cepat menyalip pendapatan per kapita Indonesia karena banyak sekali aktivitas produksi dengan modal dari Tiongkok yang dilakukan di Vietnam. Tiongkok banyak membuka pabrik-pabrik di Vietnam.
Selain itu, birokrasi untuk membuka usaha di Indonesia lebih rumit dan berjenjang. Perizinan harus dilakukan pada tiap provinsi, kabupaten, bahkan camat dan lurah, sehingga investasi di Indonesia mahal, sementara di Vietnam terpimpin hanya satu langkah saja. "Jelaslah modal Tiongkok akan lari ke Vietnam bukan Indonesia," ungkap Eugenia.
Belum lagi melihat perilaku masyarakat Indonesia masih lebih mengutamakan aktivitas konsumsi dibandingkan produksi, sementara masyarakat Vietnam lebih mengutamakan kegiatan produksi. "Hal ini membuat impor Indonesia tinggi, dan Vietnam rendah," kata Eugenia.
Begitu pula jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk Vietnam jauh lebih kecil dari Indonesia, sehingga pendapatan per kapita dapat meningkat cepat, dan menyalip Indonesia.
Bangun Desa
Diminta terpisah, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Imron Mawardi, mengatakan perkembangan ekonomi Vietnam memang pesat dan merupakan pesaing utama Indonesia di kawasan Asia Tenggara dalam menggaet investor. Untuk memperbaiki pendapatan per kapita, pemerintah diminta untuk membangun wilayah yang menjadi konsentrasi penduduk miskin terutama di kawasan perdesaan.
"Memang perkembangan Vietnam jika dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara cukup pesat, dan merupakan pesaing kita dalam menggaet investor. Ini bisa terjadi karena di sana kemudahan berbisnis dan iklim investasinya lebih baik, sementara di kita masih termasuk ekonomi biaya tinggi, ini yang jadi catatan untuk pemerintah. Dengan majunya investasi, otomatis pertumbuhan akan terbantu dan angka Gross National Income (GNI) per kapitanya akan baik," kata Imron.
Kesenjangan pendapatan penduduk Indonesia terang Imron juga sangat tinggi. Untuk itu, agar negara bisa meningkatkan pendapatan per kapita secara berkualitas, harus bisa menurunkan angka kemiskinan. Caranya adalah memperhatikan sentra-sentra kemiskinan itu sendiri yang banyak tersebar di perdesaan.
"Masyarakat desa banyak yang terlibat dalam pertanian, tapi pertanian itu sendiri masih kurang diutamakan. Ini yang harus dibuat maju terlebih dahulu," kata Imron.
Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan Vietnam memang tumbuh sangat cepat dengan meniru apa yang dilakukan Tiongkok. Dengan sistem politik seperti Tiongkok, Vietnam membuktikan bisa menjadi Tiongkok di Asia Tenggara karena diuntungkan oleh satu partai mayoritas yang memerintah.
Vietnam bisa dengan cepat mengundang investor untuk membuat pertumbuhan ekonomi di sana melesat. Korupsi yang rendah juga membuat investasi di sana berjalan jauh lebih cepat dari negara-negara di kawasan.
"Sementara Indonesia, sistem politiknya tidak sanggup mengurangi korupsi dan kestabilan perencanaan pembangunan dan hukum. Kita terlalu lama tumbuh hanya oleh konsumsi. Padahal sumber daya alam dan market kita mengungguli Vietnam," kata Maruf.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan selama ini ekonomi Indonesia memang bertumbuh, namun sebetulnya tingkat pertumbuhan tersebut masih kalah dari beberapa negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Akibatnya, jarak kesejahteraan antarnegara, misalnya diukur dari pendapatan per kapita, semakin tipis.
"Perlu ada langkah-langkah strategis untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi kendati tidak mudah karena Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan penduduk yang jauh lebih banyak," katanya.
Dari sisi struktur ekonomi nasional, perlu ada usaha serius untuk memacu kembali sektor industri yang saat ini seakan kian meredup. Hilirisasi mesti dikaitkan dengan upaya membalikkan gejala deindustrialisasi yang prematur. "Pembangunan infrastruktur sudah dilakukan besar-besaran, namun baru akan berguna bagi ekonomi nasional bila benar-benar terkoneksi kuat dengan sektor industri," kata Aloysius.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Tiongkok Temukan Padi Abadi, Tanam Sekali Panen 8 Kali
- 2 Cegah Jatuh Korban, Jalur Evakuasi Segera Disiapkan untuk Warga Sekitar Gunung Dempo
- 3 Ratusan Pemantau Pemilu Asing Tertarik Lihat Langsung Persaingan Luluk-Khofifah-Risma
- 4 Dharma-Kun Berjanji Akan Bebaskan Pajak untuk Pengemudi Taksi dan Ojek Online
- 5 Kasad Hadiri Penutupan Lomba Tembak AARM Ke-32 di Filipina
Berita Terkini
- Pekerja Sektor Informal dan Pertanian Masih Bergelut dengan Upah Rendah
- Tindak Tegas, KPK Segel Ruang Kerja Gubernur dan Sekda Bengkulu
- Inggris dan NATO Harus Unggul dalam Perlombaan Senjata AI
- Akhirnya Dua Pemain Muda Bali United Terpilih Jalani TC Piala AFF 2024
- Pemanfaatan EBT di Wilayah 3T Bisa Substitusi 3 Gigawatt Energi Kotor