Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Distribusi Pangan I Pangan Jadi Masalah Besar yang Harus Dipecahkan oleh Teknologi

Pemanfaatan Teknologi Bisa Singkirkan Pemburu Rente

Foto : Sumber: Kemenko Perekonomian - KJ/ONES/AND
A   A   A   Pengaturan Font

» Para startup bisa memanfaatkan peluang baik di produksi, distribusi, maupun pemasaran.

» Blockchain memastikan data itu akurat dan tidak dikuasai satu lembaga atau kelompok.

JAKARTA - Ajakan Presiden kepada para pelaku usaha rintisan atau startup agar berani menangkap peluang harus segera direspons. Sebab, ajakan memanfaatkan teknologi dalam distribusi pangan dipastikan akan membuat sistem lebih transparan, jalur lebih ringkas, sehingga para pemburu rente (rent seeker) yang selama ini mengeruk keuntungan perannya semakin tergerus.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka BUMN Startup Day, di Tangerang, Banten, Senin (26/9), mendorong startup menangkap peluang di sektor pangan yang masih terbuka begitu lebar dan bahkan membesar karena krisis pangan. Sementara dari total populasi startup Indonesia saat ini, hanya empat persen yang berkecimpung di sektor agrikultur. "Masalah krisis pangan, urusan pangan ke depan ini akan menjadi masalah besar yang harus dipecahkan oleh teknologi, dan itu adalah kesempatan, peluang, opportunity, dan agrikultur hanya empat persen," kata Presiden seperti dipantau dari kanal Sekretariat Presiden.

Untuk sektor pangan, setidaknya terdapat tiga aspek yang bisa disasar oleh para pelaku usaha rintisan Indonesia, yakni produksi, distribusi, dan pemasaran. "Di sini ada peluang semuanya. Urusan produksinya ada, urusan distribusinya ada, urusan pasarnya ada, semua peluangnya," kata Jokowi.

Pangan, kata Kepala Negara, tidak hanya menyangkut beras sebagai komoditas makanan pokok utama masyarakat Indonesia, tetapi juga banyak lain, seperti sorgum, porang, mocaf (singkong), dan sagu. Begitu pula dengan sayur-sayuran maupun pangan ikan-ikanan. "Ini menjadi sebuah peluang besar dan target konsumen dari petani di ladang, nelayan di lautan, sampai masuk ke dapurnya ibu-ibu rumah tangga. Peluangnya sangat besar sekali," jelas Presiden.

Dengan kapasitas ekonomi digital Indonesia pada 2020 lalu yang mencapai 632 triliun rupiah, potensinya bisa tumbuh delapan kali lipat hingga sekitar 4.531 triliun rupiah pada 2030.

Potong Rantai Pasok

Koordinator Jogja Startup Foundation, Anggoro, mengatakan hal yang paling strategis yang mesti didukung pemerintah untuk dikerjakan startup di sektor pangan adalah memotong rantai supplay chain yang kelewat panjang.

Menurutnya, teknologi blockchain memungkinkan untuk melakukan traceability atau ketelusuran di komoditas pangan.

"Inflasi pangan terutama volatile food penyumbang besar inflasi nasional dan itu terjadi karena rantai distribusi yang panjang serta tidak bisa dipantau. Muncul para spekulan yang selama ini berburu rente. Dengan blockchain, itu semua bisa diperjelas sehingga bisa dikontrol karena tidak ada yang bisa main-main data lagi," papar Anggoro.

Adopsi teknologi blockchain dalam distribusi pangan, menurut Anggoro, sudah sangat urgent karena krisis pangan mengancam nyawa jutaan orang. Banyak negara sudah mengalami krisis pangan dan PBB sudah memprediksi ada ratusan juta warga dunia yang terancam kelaparan.

Menurut Anggoro dibutuhkan akses dana ke startup yang berkolaborasi dengan para Asosiasi Petani yang ada di seluruh Indonesia.

"Dengan case study atau pilot project yang hasilnya bisa langsung dilihat startup berbasiskan blockchain akan bisa langsung show off terkait teknologi untuk bisa melakukan traceability lewat blockchain. Saya yakin cara yang efisien terkait dengan melakukan disrupsi sektor pangan adalah dengan blockchain," jelas Anggoro.

Dia pun berharap Badan Riset dan Invoasi Nasional (BRIN) bisa mempercepat kolaborasi startup dan asosiasi petani sehingga akan terjadi akselerasi dalam munculnya solusi distribusi pangan berbasis blockchain.

"Selama ini di kita masalahnya itu data. Blockchain memastikan data itu akurat dan tidak dikuasai oleh satu lembaga, tapi transparan, semua bisa lihat sekaligus tidak bisa diubah-ubah seenaknya. Data impor misalnya, pakai data BPS, Kementan, atau Kemendag? Selama ini beda-beda," pungkas Anggoro.

Pada kesempatan terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan di tengah kelangkaan pasokan dan terganggunya rantai pasok, Indonesia sebenarnya berpeluang meningkatkan ekspor komoditas. Denganplatform digital semakin mempercepat proses bisnisnya, karena informasinya begitu terbuka.

"Hal yang perlu digerakkan adalah inisiator yang mampu menggandeng para pemasok dan menentukan pengendalian kualitasnya," pungkas Suhartoko.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top