Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Pelayaran Hongi Kontrol Harga Rempah-rempah

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Untuk menguasai perdagangan rempah, Belanda mengusir bangsa Portugis dan Spanyol dari Maluku. Selanjutnya untuk menjaga harga tetap tinggi, mereka menerapkan pembatasan penanaman cengkeh yang dikontrol melalui Pelayaran Hongi.

Riwayat pencarian rempah-rempah yang berujung pada kolonialisme bangsa Barat dipicu oleh mahalnya harga komoditas rempah-rempah di Eropa. Dinasti Utsmaniyah atau Kesultanan Turki yang menguasai wilayah Timur Tengah menaikkan harga yang menyebabkan kelangkaan di Benua Biru.
Melonjaknya harga rempah-rempah karena ulah Kesultanan Turki membuat beberapa kerajaan di Eropa membuat keputusan untuk menemukan negeri asal rempah-rempah. Eropa memang sejak lama sudah tergantung dengan komoditas yang berasal dari Nusantara.
Menurut Sejarawan Universitas Indonesia (UI), Dr Bondan Kanumoyoso, rempah-rempah dari Kepulauan Maluku memiliki sejarah panjang. Penggalian arkeologi peninggalan kerajaan kuno Mesopotamia di situs Terqa, di Suriah, menemukan vas berisi cengkeh (Syzygium aromaticum). Cengkeh tersebut diperkirakan peninggalan dari era 1700 SM.
"Oleh karena itu, percaya atau tidak, cengkeh sudah diperdagangkan sejak zaman dahulu. Namun, setelah itu, cengkeh tidak terlalu tren, tetapi menjadi komoditas yang tersedia dengan harga tinggi," kata Bondan kepada kantor berita Antara.
Pencarian rempah-rempah hingga masuk Nusantara dimulai oleh Portugis yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Ia pertama kali mendarat di Malaka pada 1511. Baru pada 1512 ia mencapai Kepulauan Banda di Maluku tenggara.
Sementara itu, Spanyol mengutus Ferdinand Magellan yang sebenarnya orang Portugis untuk memulai pencarian. Ia berhasil mencapai Kerajaan Tidore di Maluku utara pada November 1521. Namun Magellan tewas dalam Perang Mactan di Filipina dan kemudian ia digantikan oleh Juan Sebastian Elcano.
Tergiur oleh keuntungan yang berlimpah dari rempah-rempah Maluku, Spanyol dan Portugis berusaha mulai mendominasi perdagangan rempah-rempah. Komoditas unggulannya berupa pala dan cengkeh di Kepulauan Maluku.
Untuk bisa memonopoli, keduanya bersaing dengan memanfaatkan persaingan antara dua kerajaan besar di wilayah tersebut yaitu Ternate dan Tidore. Portugis bersekutu dengan Ternate dan Spanyol bersekutu dengan Tidore.
Celaka bagi kedua bangsa di Semenanjung Iberia itu. Dominasi kedua negara itu mulai memudar ketika Belanda tiba di Kepulauan Maluku pada Maret 1599. Bangsa ini berhasil merasakan keuntungan dari hangatnya aroma rempah-rempah Maluku dan tergerak untuk memonopoli.
Belanda kemudian mendirikan aliansi perdagangan yang dikenal dengan nama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 1602. Bukan sekedar organisasi dagang, VOC dengan hak-hak istimewa seperti memiliki tentara dan mata uang, bernegosiasi dengan negara lain sampai mereka menyatakan perang.
Kekuasaan yang luas ini juga memungkinkan VOC melakukan segala daya untuk memonopoli perdagangan cengkeh dan pala di Maluku, atau yang sekarang dikenal sebagai Hongi Tochten atau Pelayaran Hongi.

Armada Kora-kora
Menurut laman VOC Site, istilah Hongi Tochten berasal dari kata dalam Bahasa Ternate "hongi" yang berarti "armada" atau armada sampan bersenjata. Kata itu menjadi hongitochten yang artinya adalah perjalanan pemantauan yang dilakukan untuk memastikan tidak ada produksi rempah-rempah yang berlebihan.
Dengan menggunakan armada perahu kora-kora, perahu tradisional Maluku, VOC mengelilingi pulau-pulau itu untuk memastikan tidak ada penyelundupan atau penjualan ke pihak lain. Masih menurut laman VOC Site, armada hongi ini terdiri dari puluhan kora-kora.
Kora-kora memiliki dimensi panjang 10 sampai 30 meter. Perahu ini amat sempit dengan pelampung di kedua sisinya. Kora-kora besar bisa membawa hingga 200 orang dan memiliki beberapa senjata di dalamnya.
Setiap kora-kora itu, dilengkapi dengan para pendayung yang berasal dari Ambon. Setiap desa harus mensuplai sejumlah pendayung yang harus menghidupi diri selama periode ini antara satu dan dua bulan. Para pendayung duduk di atas kendaraan hias dan mendayung mengikuti irama satu atau lebih penabuh gendang. hay/I-1

Membuat VOC Kaya dan Kuat

Hongi Tochten atau pelayaran Hongi dilatarbelakangi motif untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Kemampuan memonopoli itu setelah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), berhasil meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Sultan ternate
Menurut laman VOC Site, pada 1650 ada tiga bangsawan Ternate yaitu Pangeran Saidi, Majira dan Kalamata, mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon. Pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda.
Selama pemberontakan itu, Semenanjung Huamual di Pulau Seram hampir sepenuhnya dikosongkan dan penduduknya dideportasi ke Ambon. Akhirnya, Ternate dapat dikuasai oleh VOC.
Atas kemenangan itu, VOC melarang penanaman cengkeh di luar Pulau Ambon. Semua pohon cengkeh dimusnahkan dan masyarakat dilarang menanam dan memperdagangkan cengkeh di pulau lain. Sultan Ternate, dengan imbalan pembayaran tahunan, setuju untuk menghancurkan budi budaya penanaman cengkeh di daerahnya.
Monopoli cengkeh oleh VOC dapat bertahan hingga waktu lama. Agar bisa mempertahankan harga, aliansi dagang itu menerapkan pelayanan militer untuk menginspeksi adanya penyelundupan yang kemudian dinamakan Hongi Tochten atau Pelayaran Hongi.
Gubernur Jenderal Ambon, Pieter Both, sekaligus gubernur jenderal pertama di Nusantara, bahkan rela berlayar selama empat sampai delapan pekan ke berbagai pulau di Maluku. Dia berbicara dengan administrator lokal tentang masalah pemerintahan, juga menebangi pohon cengkeh yang tumbuh.
Jika terdapat gudang cengkeh ilegal ditemukan, maka pemilik akan dihukum. Sanksi yang dijatuhkan berupa penghancuran rumah dan terkadang seluruh desa dan perkebunan pemilik gudang. Sedangkan cengkeh yang ada kemudian disita.
Akibat rusaknya pohon cengkeh karena harus ditebang sesuai dengan perintah VOC, hasil panen pada awalnya sangat berkurang. Oleh karena itu sejak 1664, para petani cengkeh resmi harus memperluas kebun mereka sebanyak enam puluh pohon dalam waktu tiga tahun, sehingga totalnya bertambah sekitar 300.000 pohon.
Tapi sebelum penanaman baru ini mulai berbuah, produksi sudah meningkat karena tindakan pembatasan yang dilakukan sebelumnya terbukti tidak berkelanjutan. Produksinya sangat besar pada akhirnya menurut perhitungan VOC, dua kali konsumsi tahunan dunia.
Itulah sebabnya Herren XVII atau Dewan 17 yang merupakan perwakilan dari setiap provinsi di Belanda melarang semua penanaman pada 1686, termasuk untuk menggantikan pohon yang mati. Pada 1692 penghitungan menunjukkan bahwa ada tiga kali lebih banyak pohon yang diizinkan. Akibatnya, semua pohon yang ditanam setelah tahun 1686 harus dimusnahkan. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top