Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pelanggaran Beragama Naik

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Sumiati Anastasia

Tanggal 10 Desember lalu, dunia diajak memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia. Tanggal ini dipilih setelah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi dan memproklamasikan Deklarasi Universal HAM, sebuah pernyataan global tentang HAM (10/12/1948).

HAM adalah hak paling dasar yang melekat pada setiap manusia. Hormat pada HAM berarti menghargai martabat luhur manusia. Mukadimah Deklarasi Universal HAM menegaskan dengan lantang pengakuan akan martabat sebagai hak lain (Frans Ceunfin 2004, hal 22). "Declaration des droits de I'Homme et du Citoyen" Pasal 1 berbunyi: "Manusia dilahirkan bebas dan mempunyai hak yang sama" (Sermada 2001, hal 79).

Sayang, meski sudah 72 tahun merdeka, negeri kita belum sepenuhnya menghargai HAM, praktik pelanggaran terus berlangsung. Komisi Nasional HAM menyampaikan hasil laporan khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dari periode Januari-Maret 2017. Hasilnya, kasus terkait kebebasan beragama meningkat. Ada 11 kasus baru. Menurut Komisioner Komnas HAM, M Imdadun Rahmat, kasus KBB tidak menurun, malah meningkat. Jawa Barat masih daerah paling tinggi tingkat pelanggaran kasus KBB.

Yang memprihatinkan, polisi kadang membiarkan sekelompok massa. Atau ormas justru hadir sebagai polisi dan memaksakan kehendak dengan membubarkan kegiatan keagamaan. Padahal tugas menegakkan aturan ada di tangan Polri. Menurut Imdadun, Komnas HAM akan menegur kementerian atau aparatur negara yang diam saja jika tahu ada pelanggaran KBB di suatu daerah. Komnas HAM bertugas mengingatkan aparatur negara untuk melaksanakan tugasnya.

Di negeri ini, khususnya di kota-kota besar juga masih sulit bagi sebagian umat minoritas untuk membangun tempat ibadah. Pembangunan tempat ibadah yang sudah resmi mendapat izin pun, kerap masih dipersoalkan dan dihalang-halangi sebagian ormas tertentu.

Sampai peringatan Hari HAM sedunia kali ini masih terjadi ironi ketika korban kekerasaan bernuansa agama belum bisa kembali ke kampung halaman. Contoh, para pengungsi Syiah asal Sampang Madura yang kini tinggal di Perumahan Jemundo, Sidoarjo, Jatim. Mereka terusir sejak 2012 dan pernah pada era Presiden Yudhoyono dijanjikan pulang ke kampung halaman agar bisa menjalani hidup damai seperti dulu. Nyatanya, hingga era Presiden Joko Widodo, nasib mereka masih terkatung-katung di tempat pengungsian. Semakin maraknya radikalisme, juga semakin membuat para pengungsi Syiah kian terpojok. Merekalah contoh nyata korban kekerasan bernuansa agama yang hingga sekarang tidak bisa menikmati kebebasan dan hak asasi dalam beragama.

Penganut Kepercayaan

Diskriminasi atau pelanggaran HAM terhadap penganut kepercayaan, tampaknya masih akan terus dilanjutkan. Ini terkait pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pascakeputusan MK, justru marak tentangan dari sebagian kalangan yang tidak mau menghargai HAM.

Mereka ingin pemerintah membuat KTP khusus bagi penganut kepercayaan. Mereka berargumen, para penganut agama tidak ingin disamakan dengan penganut "kepercayaan." Mereka lupa bahwa masalah mendasarnya bukan agama, tetapi HAM. Jelasnya, masalah hak sipil para penganut kepercayaan. Dengan dimasukk a n n y a penganut kepercayaan ke KTP, tidak akan ada kerugian bagi para penganut agama.

Tak akan ada noda yang merugikan dogma atau ajaran agama dengan keputusan MK bagi penganut kepercayaan (Baca tulisan saya "72 Tahun Diskriminasi Kepercayaan" Koran Jakarta, 15/11). Ironis, di tengah era yang kian terbuka seperti sekarang, sikap tertutup dan menutup diri terhadap kenyataan bahwa manusia itu berbeda dan berhak berbeda dalam beragama, sesuai dengan nilai-nilai HAM, justru kian mendapat tempat.

Semangat toleransi yang konon menjadi "trademark" bangsa ini kini seperti tenggelam di tengah pekikan "holier than thou atau "saya lebih suci dari kamu." Malahan bisa juga lebih ekstrem: "agama saya lebih benar dan agama orang lain sesat, kafir, dan halal untuk dilarang dan dilibas."

Memasuki usia 73 tahun, proyek 'membangsa' sebagai Indonesia benar-benar diuji. Realitas Indonesia yang plural kini mulai digerogoti dan dikebiri oleh radikalisme serta sikap intoleransi yang kerdil. Ini sangat mencemaskan, apalagi jika orang menjadi takut untuk membicarakan atau menulisnya. Padahal perbedaan sebenarnya itu lumrah.

Lalu mengapa masih terjadi pemaksaaan kehendak yang melanggar HAM pihak lain? Dari perspektif sosiologi, konflik antaretnis atau antaragama memang telah menjadi fakta sosiologis yang tak bisa diingkari. Sebagai analogi, setiap agama atau etnis ibaratnya memang mendiami rumah sendiri-sendiri. Terjadinya konflik biasa dipicu nafsu orang yang hendak menerapkan aturan di "rumah"- nya ke rumah orang lain.

Sayang, pemerintah atau negara dengan segala badan publiknya sering tidak lagi mampu mengatur kehidupan masyarakat secara independen. Malah menurut Budiman Soejatmiko, ada sekelompok orang yang memiki sense of belonging naif dan merasa paling memiliki wewenang untuk menerapkan apa pun yang berlaku di rumahnya agar berlaku di ruang publik.

Inilah yang sebenarnya menjadi sumber permasalahan: di satu sisi ada ketidakmampuan negara dalam mengelola ruang publiknya. Di sisi lain, ada anggota bangsa yang merasa paling memiliki otoritas untuk mengatur dan mendominasi ruang publik.

Bahkan pesan-pesan keagamaan yang sejuk, kini dengan tafsir tertentu justru diubah menjadi pesan provokatif. Ini akan membuat hati dan telinga orang yang berada di dalam ruang publik, di dalam rumah Indonesia, merasa tidak nyaman lagi. Ajang mencari pemimpin, entah pilpres atau pilkada, justru makin disesaki pesan provokatif karena menguatnya politik identitas yang mengeksploitasi suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Dalam sikon demikian, semua elemen bangsa perlu mengembangkan lagi penghargaan dan toleransi sejati terhadap perbedaan. Menurut almarhum Nurcholish Madjid, kita perlu mengembangkan sikap inklusif yang penuh rendah hati dengan menghindari sikap eksklusif yang arogan. Bertoleransi dengan lapang hati. Itulah yang harus kita perjuangkan agar kebebasan beragama tak dilanggar. Dengan demikian Indonesia tetap menjadi rumah bagi semua.

Oleh sebab itu, demi penghargaan pada martabat manusia dan HAM, kebebasan beragama harus sungguhsungguh dijamin negara dan dihormati warganya. Memang secara umum iklim kebebasan beragama di negeri ini mungkin sudah relatif cukup baik. Namun peningkatan kasus pelanggaran kebebasan beragama seperti tadi harus menjadi perhatian semua.Penulis Lulusan University of Birmingham

Komentar

Komentar
()

Top