Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pelaksanaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Bermasalah

Foto : Koran Jakarta/Muhamad Marup

RAPAT KERJA - Menaker, Ida Fauziyah, dalam rapat kerja ¬dengan Komisi IX DPR, di Jakarta, Senin (18/1).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Program jaminan sosial ketenagakerjaan saat ini masih belum optimal. Hal itu terjadi karena Badan Penyelenggara Jaminan sosial (BPJS) Ketenagakerjaan kerap menemukan masalah dalam pelaksanaannya.

"Penyelenggaraan program jaminan sosial ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan terus mengalami perkembangan. Namun, terdapat sejumlah kendala yang harus diselesaikan," kata Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, di Jakarta, Senin (18/1).

Menaker menyebut masalah pertama adalah terkait cakupan kepesertaan jaminan sosial. Pemerintah bersama BPJS Ketenagakerjaan harus dapat memperluas cakupan kepesertaan semesta untuk semua segmen.

"Hingga Desember 2020, jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan tercatat sebanyak 50,72 juta atau berkurang dibandingkan dengan 2019 yang sebanyak 55,2 juta," jelasnya.

Temuan Masalah

Menaker melanjutkan masalah kedua dalam jaminan sosial ketenagakerjaan terkait dengan penyelenggaraan tiga program jaminan sosial. Pihaknya menemukan banyaknya manfaat penyakit akibat kerja (PAK) dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang tidak terbayar karena bersentuhan dengan programJaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Pihaknya juga kerap menemukan penarikan lebih awal atas manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT). Penarikan itu memang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, tetapi implementasinya membuat kondisi proteksi para pekerja menjadi rentan.

Sementara itu, kata Menaker, progam Jaminan Pensiun (JP) menghadapi masalah sangat kecilnya manfaat dan tidak adanya peta jalan untuk menaikkan iuran JP menuju 8 persen. Terdapat pula irisan hukum dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 1992 tentang dana pensiun yang membuat perusahaan pelaksana program dana pensiun beranggapan bahwa program JP tidak bersifat wajib.

"Terkait pengembangan program harus mengembangkan sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi International Labor Organization 102," ucapnya. n ruf/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top