Paus Fransiskus Tekankan Pentingnya Wujudkan Keadilan Sosial yang Tertulis dalam Pembukaan UUD 45
Paus Fransiskus bertemu presiden Joko wi I Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima kunjungan Pemimpin Takhta Suci Vatikan Sri Paus Fransiskus sebelum melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (4/9). Pertemuan tersebut membahas hubungan bilateral Indonesia dan Vatikan sekaligus membahas isu-isu global, khususnya perdamaian dunia.
Foto: VATI CAN MEDIA/AFPJAKARTA - Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Takhta Suci Vatikan, Paus Fransiskus, dalam pidatonya di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/9), memuji Pancasila dan kebhinekaan di Indonesia. Paus dalam kesempatan itu mengutip mengenai "keadilan sosial" di Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Izinkanlah saya untuk merujuk pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Anda yang menawarkan wawasan berharga sebagai jalan yang dipilih oleh Indonesia yang demokratis dan merdeka. Punya sejarah yang sangat-sangat indah adalah pilihan dari semua," kata Paus Fransiskus dalam bahasa Italia yang diterjemahkan oleh penerjemah seperti ditayangkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden.
"Dua kali dalam beberapa baris pembukaan UUD Anda merujuk pada Allah yang Maha Kuasa dan perlunya Berkat Allah turun atas negara Indonesia yang baru lahir," ungkap Paus. Dengan cara yang sama, kata Fransiskus, kalimat pembukaan UUD Anda merujuk dua kali pada keadilan sosial sebagai fondasi tatanan internasional yang diinginkan dan sebagai salah satu tujuan yang harus dicapai demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Menanggapi pidato tersebut, Aktivis 1998, Widihasto Wasana Putra, mengatakan Paus Fransiskus mencoba mendalami Pembukaan UUD 45 milik bangsa Iandonesia. Sebagai Pemimpin Umat Katolik Dunia, Paus menekankan pentingnya keadilan sosial sebagai salah satu tujuan yang harus dicapai bangsa Indoensia. Sayang sekali, semakin ke sini, tujuan keadilan sosial itu realisasinya di Indonesia semakin jauh dari cita-cita. Ketidakadilan sosial dalam berbagai sendi kehidupan muncul di sana-sini. Semakin lama, keadilan sosial bukan makin bagus, tapi jurangnya makin terbuka.
"Seandainya saja ada pemimpin Indonesia yang mendalami pikiran yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 dan Pancasila, betapa mulianya, betapa makmurnya, betapa sejahteranya rakyat Indonesia," katanya. Semua itu terjadi karena para pemimpin banyak yang memanfaatkan jabatan dan posisinya atau "aji mumpung".
Mereka tidak peduli dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 45. Dari Jakarta, Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi, Nazar el Mahfudzi, mengatakan keadilan sosial saat ini hanya tersimpan rapi di Pembukaan UUD 45, belum dipraktikkan.
Rakyat jauh dari sejahtera, sementara utang negara terus melonjak. Saat negara ini terbentuk, sama sekali tidak terpikirkan pembangunan dan kehidupan sehari-hari bangsa ini dibiayai dari utang. Faktanya sekarang, utang RI sudah membengkak menembus 8.500 triliun rupiah. Sistem keuangan global kesannya membangun, tapi sebagian besar sama sekali tidak memberi fondasi untuk stabilitas ekonomi rakyat. "Sesusah-susahnya kita zaman dulu, 95 persen pangan kita masih berasal dari produksi petani dalam negeri. Tapi sekarang, sekitar 40 persen didatangkan dari negara lain.
Masa sudah lama merdeka, teknologi pertanian semakin maju, tapi produksi pertanian kita semakin turun," jelasnya. Jika ditelusuri, impor migas Indonesia pun semakin besar. Dari semula sebagai salah satu negara eksportir minyak, anggota OPEC, sekarang sebagai net importir minyak. Selain itu, Indonesia juga dinilai telat mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT). "Tidak hanya pangan, kita juga tertinggal dalam pengembangan EBT. Padahal pangan dan energi itu dua hal mendasar yang harus dikuasai," katanya.
Mudah Terguncang
Secara terpisah, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan pidato Paus Fransiskus sebagai pengingat penting bagi kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Menurutnya, industri Indonesia jauh dari semangat keadilan sosial yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Aditya menyebutkan bahwa kebergantungan Indonesia pada industri padat karya yang mudah terguncang oleh persaingan global menunjukkan betapa rentannya struktur ekonomi nasional.
"Industri padat karya seperti tekstil dan sepatu yang mendominasi perekonomian kita sangat rentan terhadap tekanan global, terutama dari negara-negara yang mampu memproduksi dengan biaya lebih murah," jelas Aditya. Ia menambahkan bahwa industri seperti itu mudah tergantikan oleh otomatisasi, yang bertentangan dengan semangat keadilan sosial yang menginginkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dia juga menggarisbawahi pentingnya pembangunan brainware atau sumber daya manusia berkualitas, sesuatu yang dinilai oleh Paus Fransiskus sebagai aspek krusial dalam tatanan dunia internasional yang berkeadilan. "Sayangnya, brainware kita masih sangat tertinggal. Banyak perusahaan teknologi yang masuk ke Indonesia mengeluhkan rendahnya kesiapan tenaga kerja kita. Ini berbanding terbalik dengan Singapura yang kecil, namun unggul karena mengutamakan brainware," kata Aditya.
Maka tidak heran jika GoTo dan Shopee dimiliki asing. "Asing tidak punya pasar. Berarti kita hanya menjadi konsumen," katanya. Apalagi dunia sekarang memasuki era artificial intelligence (AI) yang sangat berbahaya karena tidak memakai nurani. Pengamat Komunikasi Politik Universitas Bina Nusantara (Binus) Malang Frederik M Gasa mengatakan, segala persoalan di tanah air yang menyangkut hal-hal fundamental seperti keadilan sosial, tidak bisa ditutup-tutupi.
"Kita tidak bisa menutup mata. Banyak rakyat kita yang tidak bisa menabung. Kalau toh bisa, sebagian besar saldo tabungannya di bawah 10 juta rupiah. Mau hidup dari mana dengan tabungan sebesar itu. Gizi anaknya terpenuhi darimana. Akhirnya IQ rata-rata rakyat Indonesia sama dengan Timor Leste, terendah di Asia Tenggara," katanya. Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut mengatakan, berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah banyak yang tidak bermuara pada keadilan sosial.
"Contohnya, pemerintah keluarkan surat utang bertenor 40 tahun. Ujung-ujungnya yang menjadi standby buyer Bank Indonesia. Itu kan sama saja dengan mencetak uang. Itu kan inflasi. Akhirnya rakyat yang menderita," katanya. Belum lagi soal investor asing.
Kalau hanya sekadar mencari investor asing tidak susah, tetapi mencari yang berkualitas dan bonafide itu yang susah. "Tesla pilih berinvestasi di Thailand dan Malaysia, padahal bahan bakunya ada di Indonesia meski pemiliknya Tiongkok," kata Siprianus. Menurutnya, para pejabat hanya berpikir jangka pendek. Mereka mau menyerahkan satu pulau untuk investasi energi tenaga surya, tapi anehnya kabelnya ditarik ke negara tetangga. "Ini kan gak ada nilai tambahnya buat rakyat Indonesia. Mental seperti ini tidak ada keadilan sosialnya. Kita malas, maunya jadi calo. Negara tetangga kita kaya karena kemalasan kita," katanya.
Reformasi Total
Dengan mental seperti itu, Siprianus menjelaskan, susah bagi Indonesia untuk keluar dari middle income trap. Sesaat masuk dalam kategori negara berpenghasilan menengah atas, tidak lama turun lagi ke negara berpenghasilan menengah bawah.
"Itu karena pengaruh devaluasi rupiah yang penyebab utamanya utang dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Obligasi Rekap BLBI yang menghisap darah fiskal nasional. Utang terus membengkak. Lalu kita membandingkan rasio utang terhadap PDB Indonesia dengan negara-negara maju yang cadangan devisanya mencapai ribuan triliun dollar AS. Rasio utang meninabobokan kita." Tanpa reformasi total dalam pengelolaan utang, pengembangan SDM, dan penguatan industri berbasis teknologi tinggi, Indonesia akan semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945.
"Kita harus segera berbenah, karena tanpa kemandirian pangan, energi, dan teknologi, kita hanya akan menjadi konsumen di pasar global, bukan pemain," tandasnya. Pengamat politik sekaligus Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam mengatakan, pernyataan Paus mengandung nilai-nilai kebaikan yang universal.
Sebetulnya tidak ada yang aneh, tapi memang untuk mengikuti saran beliau dibutuhkan good will dan political will dari pemimpin kita. Tanpa kesadaraan itu, akan sulit menjalankan nasihat beliau. Intinya pemerintah harus mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya, dan Paus berusaha mengingatkan kita agar bangsa kita jangan terlena, apalagi sampai set back," tuturnya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Gagasan dari 4 Paslon Pilkada Jabar untuk Memperkuat Toleransi Beragama
- 2 Kasad: Tingkatkan Kualitas Hidup Warga Papua Melalui Air Bersih dan Energi Ramah Lingkungan
- 3 Irwan Hidayat : Sumpah Dokter Jadi Inspirasi Kembangkan Sido Muncul
- 4 Trump Menang, Penanganan Krisis Iklim Tetap Lanjut
- 5 Tak Tinggal Diam, Khofifah Canangkan Platform Digital untuk Selamatkan Pedagang Grosir dan Pasar Tradisional
Berita Terkini
- Pemerintah AS Hentikan Pengiriman Chip Canggih untuk Teknologi AI
- Lukisan AI tentang Alan Turing Terjual 1 Juta Dolar AS
- OpenAI Hadapi Perlambatan Kemajuan dengan Mengembangkan Strategi Baru
- Film "Crazy Rich Asians 2" Batal Digarap, Ini Kata Sutradara Chu
- Pengunjung Aquabike Jetski Antusias, UMKM Meraup Berkah