Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Proses Legislasi -- Kemenkumham: Perlu Ada Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP

Pasal Penodaan Agama Harus Dirumuskan Spesifik

Foto : istimewa

Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU Abu Rokhmad

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU Abu Rokhmad mengatakan bahwa pasal tentang penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) harus dirumuskan secara hati-hati agar tidak menimbulkan persoalan di masyarakat.

"Catatan kami adalah pastikan pasal tentang penodaan agama harus dirumuskan secara hati-hati," kata Abu dalam diskusi daring Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) dengan tema "RUU KUHP: Wujud Keadilan Hukum Indonesia" dipantau di Jakarta, Senin (29/8).

Abu menyebut pasal penodaan agama perlu dirumuskan secara spesifik lantaran pasal tentang penodaan agama sering dianggap sebagai pasal karet, seperti halnya pasal penghinaan presiden. Namun, sambungnya, pasal penodaan agama lebih krusial karena menyangkut keyakinan atau kepercayaan.

Ia menjelaskan kehati-hatian perumusan pasal penodaan agama diperlukan agar dalam implementasinya pasal tersebut tidak memunculkan kasus-kasus yang rentan menjerat masyarakat. "Sebab kalau ini dibiarkan begitu saja, pasal penodaan agama ini, saya kira kita akan mengulang-ulang saja, mengulang-ulang sejarah masa lalu, kita sudah berkali-kali ada kejadian semacam itu," ucapnya.

Ia mengatakan agar tak menjadi pasal karet maka dalam implementasinya perlu menitikberatkan perhatian pada pemenuhan aspek-aspek unsur pidana di dalamnya secara seksama. Ia mengingatkan agar perumusan pasal penodaan agama dalam RKUHP perlu mencantumkan aliran kepercayaan.

"Harus memenuhi unsur-unsurnya, pidananya harus betul-betul bisa kita ketahui bersama, lalu kemudian aparat penegak hukumnya di dalam mengimplementasikan harus berhati-hati dan bersungguh-sungguh karena ini menyangkut agama," kata Abu. "Apa lagi kalau dipadu, digabungkan dengan UU ITE saya kira ini akan jadi persoalan serius," katanya.

Abu menuturkan masih dicantumkannya pasal penodaan agama dalam RKUHP menunjukkan bahwa pemerintah selaku pembuat undang-undang menaruh agama beserta umat, simbol, dan kepentingan agama terkait di dalamnya pada tempat yang penting sehingga perlu untuk diberi payung perlindungan hukum. "Itu semata-mata untuk menjaga kebersamaan, kemaslahatan, dan kedamaian," kata Abu.

Menghina dan Fitnah

Adapun Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) RI Edward Omar Sharif Hieriej menyatakan perlu ada pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dalam RKUHP.

"Saya katakan itu perlu. Karena inti penghinaan itu hanya dua, yaitu menista dan fitnah," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) RI Edward Omar Sharif Hieriej di Jakarta, Senin.

Wamenkumham berpandangan menista seseorang sama halnya dengan merendahkan martabatnya. Sebagai contoh hal itu seperti menyamakan seseorang dengan hewan atau binatang. Kemudian, di dalam ajaran agama manapun tidak ada yang mengajari atau membenarkan tentang fitnah. Oleh karena itu, ia mengaku heran adanya pihak yang menganggap pasal penghinaan Presiden sama dengan membungkam kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan berdemokrasi. "Jelas-jelas menghina itu beda dengan bebas berpendapat," ujarnya.

Ia menjelaskan yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 ialah kebebasan berdemokrasi, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi, bukan kebebasan menghina. "Jadi inti dari menghina itu adalah fitnah," ujar dia.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top