Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Parpol Abaikan Pakta Integritas

Foto : Koran Jakarta/M Fachri
A   A   A   Pengaturan Font

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan adanya 199 mantan narapidana kasus korupsi yang mendaftar sebagai bakal calon anggota legislatif (bacaleg) DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Mereka didaftarkan oleh partai politik masing-masing untuk berkontestasi pada Pemilu Legislastif 2019.

Dari 199 mantan napi kasus korupsi itu rinciannya, yakni 30 eks napi korupsi yang terdaftar sebagai bakal caleg DPRD di 11 provinsi, 148 eks napi korupsi terdaftar sebagai bakal caleg DPRD di 93 kabupaten, dan 21 eks napi korupsi terdaftar sebagai bakal caleg DPRD di 12 kota.

Eks napi korupsi yang terdaftar sebagai bakal caleg DPRD provinsi terbanyak berada di Jambi, yakni sembilan orang. Berturut-turut, Bengkulu (4), Sulawesi Tenggara (3), Kepulauan Riau (3), Riau (2), Banten (2), Jawa Tengah (2), NTT (2), DKI Jakarta (1), Kalimantan Selatan (1), dan Sulawesi Utara (1).

Kemudian, eks napi korupsi paling banyak terdaftar sebagai bakal caleg di DPRD Kabupaten Buol dan Katingan, yakni sebanyak enam orang. Disusul Kabupaten Kapuas (5), Belitung (4), Trenggalek (4), dan Kutai Kartanegara (4).

Baca Juga :
Letusan Semeru

Di tingkat DPRD Kota, eks napi korupsi paling banyak terdaftar sebagai bakal caleg di kota Lamongan, yaitu empat orang. Selanjutnya Kota Pagar Alam (3), Cilegon (2), Gorontalo (2), Kupang (2), dan Sukabumi (2).

Rincian jumlah eks napi korupsi yang terdaftar sebagai bakal caleg DPRD provinsi, kabupaten, dan kota adalah hasil sementara pengawasan Bawalu dengan memeriksa informasi dari Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Selain itu, Bawaslu juga memeriksa Surat Keterangan Pengadilan. Jumlah eks napi korupsi itu dapat bertambah seirama dengan pengawasan yang terus dilakukan Bawaslu hingga KPU menetapkan daftar calon tetap (DCT) pada 20 September mendatang.

Munculnya nama-nama napi korupsi sebagai caleg Pemilu 2019 itu membuktikan bahwa partai-partai politik tidak patuh terhadap peraturan KPU. Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 dengan tegas tidak memperkenankan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, serta kejahatan seksual terhadap anak untuk mendaftar sebagai bakal caleg pada Pemilu 2019.

Selain itu, sebelum mendaftarkan nama-nama kadernya sebagai bacaleg, pengurus parpol telah menandatangani pakta integritas bacaleg. Sayangnya, semua itu diabaikan oleh oknum pengurus parpol.

Publik sangat mendukung PKPU No 20 yang melarang mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, serta kejahatan seksual terhadap anak menjadi caleg. Tujuan dari PKPU No 20 itu melindungi pemilih dari bakal caleg yang pernah dijerat tindak pidana korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa, yang tidak boleh lagi dipandang biasa. Mantan pelaku tindak pidana korupsi tidak bisa dipersamakan dengan pelaku kejahatan lainnya, termasuk juga kesempatan untuk mengisi jabatan publik sepenting anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Kita perlu mengingatkan pihak-pihak yang menolak PKPU No 20 itu. PKPU tersebut tidak bisa dilihat hanya dari pendekatan pembatasan hak politik warga negara. Lebih jauh dari itu, PKPU itu merupakan langkah preventif yang tujuannya adalah memperbaiki kualitas pemilu dan pemerintahan yang dipilih melalui proses pemilu.

Meskipun masih ada pro dan kontra terhadap PKPU No 20, yang paling penting saat ini adalah bagaimana sikap masyarakat selaku pemilih. Parpol boleh saja memaksakan diri mengajukan mantan napi koruptor atau bandar narkoba sebagai caleg, tapi kalau masyarakat tak mau pilih, upaya parpol yang memaksakan diri itu akan sia-sia. Jadi, yang paling penting itu adalah komitmen moral masyarakat selaku pemilih. Apakah pemilih akan terbujuk berbagai rayuan parpol atau pemilih tetap teguh ingin membersihkan negeri ini dari narkoba dan korupsi.

Komentar

Komentar
()

Top