Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kudeta di Myanmar

Parlemen Asean Desak Blok Regional Harus Keluarkan Myanmar jika Kudeta Tidak Diakhiri

Foto : BenarNews/Reuters

A   A   A   Pengaturan Font

KUALA LUMPUR - Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (Asean) harus menekan Myanmar dan mengeluarkannya dari blok tersebut jika pemimpin militer di negara tersebut tidak mengakhiri kudeta yang mereka luncurkan minggu ini, kata asosiasi anggota parlemen dari kawasan itu pada Selasa (2/2).

"Asean, negara-negara Asia lainnya seperti Jepang dan Tiongkok, dan pihak Barat perlu berhenti mengatakan hal-hal baik tentang rekonsiliasi di Myanmar dan mengambil tindakan nyata," kata Charles Santiago, ketua Parlemen Asean untuk Hak Asasi Manusia yang juga merupakan seorang anggota parlemen dari Malaysia,

"Asean harus memiliki delegasi tingkat tinggi yang mengunjungi Myanmar segera untuk menekannya agar mengembalikan pemerintah ke Aung San Suu Kyi, untuk memberitahukan [kepada mereka] bahwa kudeta tidak dapat diterima dan sangat tidak konsisten serta melanggar prinsip-prinsip dan piagam Asean," imbuh Santiago saat konferensi pers virtual dengan kelompok prodemokrasi lainnya.

"(Jika Myanmar tidak setuju), saya pikir harus ada proses untuk mengeluarkan Myanmar dari Asean," ucap Santiago.

Santiago mengakui bahwa negara-negara Asean terpecah dalam tanggapan individu mereka terhadap kudeta tersebut, dengan Kamboja, Thailand, dan, awalnya, Filipina, dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi di Myanmar tersebut adalah masalah internal Myanmar. Ketiga negara tersebut memiliki sejarah kudeta.

Indonesia, Malaysia dan Singapura, menyatakan keprihatinan serius atas kudeta pada Senin (1/2) terhadap rekan sesama negara Asean. Brunei, sebagai ketua Asean tahun ini, mendesak agar kembali kepada keadaan normal sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar.

Namun demikian Manila akhirnya mengubah respons mereka Selasa (2/2) dan juga menyatakan kekhawatirannya atas kudeta militer di Myanmar itu.

"Pemerintah Filipina mengikuti dengan keprihatinan yang mendalam atas situasi yang berkembang di Myanmar, dan khususnya prihatin dengan keselamatan Daw Aung San Suu Kyi," kata Kementerian Luar Negeri Filipina dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu pada Selasa, Fortify Rights, sebuah kelompok Asia Tenggara, meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberlakukan embargo senjata global terhadap Myanmar dan merujuk situasi di negara itu ke Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag.

Tudingan Kecurangan Pemilu

Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Suu Kyi memenangkan 396 kursi di parlemen sementara Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan yang berafiliasi dengan militer memenangkan 33 kursi dalam pemilihan umum November lalu.

Pada Senin pagi, militer Myanmar menangkap Suu Kyi dan para pemimpin senior lainnya, kemudian mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun untuk menangani tuduhan kecurangan pemungutan suara terkait pemilihan umum tiga bulan lalu tersebut.

Pada Selasa, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa pemerintah terpilih di Myanmar digulingkan dalam kudeta militer sehari sebelumnya. "Oleh karena itu, AS sekarang akan meninjau kembali bantuan asing kepada pemerintah Myanmar," kata kementerian itu.

Dilema Asean

Menanggapi kudeta di Myanmar, Mohammad Hasan Ansori, Direktur Riset Habibie Center, mengatakan Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi situasi politik di Myanmar karena budaya Asean mengatur penghormatan atas urusan internal negara anggota.

Hasan melanjutkan, selama persoalan kudeta tidak memberi dampak regional atau langsung kepada suatu negara, maka kewajiban negara anggota Asean adalah untuk menghormati persoalan itu.

"Ada kasus waktu itu senior meeting ASEAN. Ketika itu dibicarakan, disinggung masalah Rohingya, Myanmar keluar, tidak mau ikut karena merasa negara lain tidak menghormati internal mereka," kata Mohammad.

Piagam Asean Pasal 2 Ayat (2) huruf e disebutkan bahwa negara-negara anggota Asean tidak akan melakukan intervensi (non-interference) dalam masalah domestik suatu negara.

Senada dengan Mohammad, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan yang bisa pemerintah Indonesia lakukan saat ini adalah mengamati perkembangan dan memantau kondisi warga negara Indonesia (WNI) yang berada di sana.

"Saat ini sebaiknya Indonesia tidak perlu membuat pernyataan apa pun yang bisa dipersepsi oleh pemerintahan yang mengkudeta adanya campur tangan," ujar Hikmahanto dalam keterangan tertulis yang dibagikan kepada BenarNews.

Namun anggota parlemen Malaysia, Santiago, memiliki pendapat berbeda. Menurut Santiago, kebijakan non-intervensi blok tidak berlaku untuk kudeta di Myanmar karena pengambilalihan militer di sana memiliki konsekuensi regional yang lebih luas dan perlu ditangani oleh negara-negara anggota blok, ungkapnya.

"Ini tidak mengganggu karena masalah Myanmar akan menjadi masalah Asean, karena negara-negara seperti Malaysia, Indonesia dan Thailand sekarang akan memiliki lebih banyak pengungsi yang datang ke negara-negara tersebut dan ini dapat menimbulkan masalah keamanan bagi negara-negara tersebut," kata dia.

Sementara itu, hingga Desember 2020, terdapat lebih dari 150.000 pengungsi dan pencari suaka dari Myanmar yang terdaftar di UNHCR, demikian menurut badan pengungsi PBB di Malaysia itu. Mereka terdiri dari 102.250 warga Rohingya, 22.410 warga Chin dan 29.360 kelompok etnis lainnya dari daerah yang terkena konflik atau melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar.

Diperkirakan 600.000 orang Rohingya tetap berada di negara bagian Rakhine Myanmar, termasuk sekitar 126.000 yang secara efektif dikurung di kamp atau tempat yang digunakan sebagai kamp yang didirikan pada 2012, demikian Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), Senin. BenarNews/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top