Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 07 Sep 2019, 01:00 WIB

Pariwisata, Masa Depan Indonesia

Foto: koran jakarta/aloysius widiyatmaka

Masa keemasan minyak sudah lama berlalu. Bersamaan dengan itu, ekonomi bonanzanya juga ikut meredup. Indonesia harus meninggalkan sumber daya alam seperti minyak di belakang. Saatnya menatap energi baru ekonomi. Salah satu energi baru ekonomi yang telah ditemukan adalah laut. Indonesia dalam kurun lama membelakangi gudang kekayaan sumber kehidupan bernama laut.

Namun, Indonesia tidak cukup hanya menemukan (satu) kesadaran pentingnya laut sebagai sumber hidup masa depan karena bisa mencapai titik jenuh juga. Ikannya banyak dicuri. Kita harus terus mencari energi baru ekonomi yang selalu dapat diperbarui. Energi baru ekonomi yang bisa terus diperbarui adalah pariwisata! Pariwisata tidak ada matinya!

Seperti laut, pariwisata adalah "gunung emas" sumber kehidupan bangsa yang lama dibiarkan. Belakangan, pemerintah mulai menyadari bahwa pariwisata potensi dahsyat yang terpendam dan mulai dikulik sebagai sumber pemasukan keuangan. Pariwisata adalah silent giant ekonomi yang dibiarkan terbengkalai. Kini saatnya membangunkan giant yang sudah disediakan alam sebagai karya Sang Pencipta tersebut.

Manusia Indonesia tinggal mengolah, menata, lalu mengambil buah manisnya. Apa yang tidak bisa dijadikan objek wisata di negeri ini? Alam seperti gunung, laut, pantai, pulau, bukit, dataran tinggi, dataran rendah, sungai, air terjun atau bahkan persawahan, tak terkira jumlahnya dan semua bisa disulap menjadi destinasi wisata. Belum lagi eksplorasi budaya, kuliner, sejarah, atau belanja yang tak kalah luasnya. Itulah masa depan bangsa Indonesia!

Pariwisata adalah masa depan Indonesia. Pariwisata adalah hidup Indonesia. Dia gantungan hidup anak cucu. Apakah bukan bombastis mengatakan pariwisata bisa menjadi sumber hidup bangsa? Tentu tidak! Sebab banyak contoh negara tidak memiliki sumber alam seperti minyak, tetapi mereka bisa menjadi negara kaya karena pariwisata! Salah satunya Maldives. Pariwisata negeri itu menyumbang hampir 40 persen produk domestik bruto (PDB).

Contoh lain, turisme Macau menyumbang 30 persen PDB. Yang dekat kita, Thailand. Pariwisata negeri Gajah Putih tersebut mampu menyumbang 22 persen dari PDB. Turisme juga berhasil membangkitkan Thailand dari keterpurukan hantaman krisis tahun 1998. Hampir setiap lini lunglai, namun pariwisata gagah tak tergoyahkan. Turisme telah menyelamatkan krisis Gajah Putih.

Tak hanya itu, pariwisata pada perekonomian global berhasil menyumbang 1.340 miliar dollar AS atau 20 kuadriliun rupiah. Sayang, menurut Organisasi Pariwisata Dunia atau United Nations World Tourism Organisation (UNWTO), hampir 40 persennya direbut negara-negara Eropa. Asia Pasifik hanya kebagian 29 persen. Sisanya, ke kawasan lain termasuk Amerika.

Lalu, berapa sumbangan turisme bagi PDB Indonesia? Ternyata baru 5,8 persen sumbangan pariwisata pada PDB nasional. Mengapa demikian minim? Ini terjadi karena kita terlalu lama terlena dengan minyak, batu bara, sawit, kayu, karet, dst. Pariwisata boleh dikata sama sekali tidak dilirik atau dianggap s09ebelah mata. Pariwisata hanya dibiarkan seadanya. Ada turis syukur, tidak ada, tak masalah. Begitulah kira-kira kita memperlakukan pariwisata selama ini.

Baru beberapa tahun belakangan pemerintah terbangun. Dia tergagap-gagap ternyata telah ketinggalan jauh dari perkembangan dan pembangunan pariwisata dari negara-negara lain. Padahal, ternyata turisme mampu menyumbang devisi tinggi dan jadi penyelamat krisis di banyak negara. Kondisi pembiaran pariwisata seadanya, wajar kalau buahnya juga ala kadarnya.

Kini target pemerintah lumayan muluk. Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan pariwisata nasional dua kali lipat pada 2019. Tahun ini, pariwisata ditargetkan memberikan kontribusi PDB nasional 8 persen dan menghasilkan devisa 280 triliun rupiah, sedangkan lapangan kerjanya 13 juta. Ini mau ditangkap antara lain dengan target wisatawan asing 20 juta dan pergerakan wisnu 275 juta.

Melihat potensi dana "gentayangan" tersebut, pemerintah harus mulai memforsir diri, mati-matian mengulik untuk mewujudkan potensi pariwisata kita. Lebih baik mati-matian sekarang, daripada mati beneran nanti karena terlalu santai dalam mengolah potensi turistik nasional, sehingga gagal meraih banyak devisa dari sektor ini.

Pemerintah harus ngopyak-opyak semua kementerian, gubernur, bupati, dan wali kota, agar bangun dari tidur (berupa) membiarkan pariwisata terbengkalai. Jangan tidur terus. Kini saatnya singsingkan lengan baju, membanting tulang, membangun destinasi-destinasi pariwisata. Artinya, harus ada sinergi rapi antarinstansi. Jangan lagi program pembangunan disodorkan ke kementerian, tetapi ditolak kementerian lain. Jadi, semua harus duduk bersama dulu untuk menyamakan persepsi dan visi.

Jangan ada kebiasaan ego sektoral, hanya mengutamakan kementerian atau institusinya sendiri-sendiri. Inilah perlunya sebuah koordinasi yang ikhlas. Semua bekerja demi bangsa, bukan sektornya. Kalau sudah ada persamaan persepi, visi, dan keiklasan koordinasi, barulah semua bersama-sama menabuh genderang perang membangun pariwisata.

Tangkap Momentum Rakyat Sadar Wisata

Belakangan masyarakat rupanya telah mencapai kondisi "sadar wisata". Ini tentu kenyataan yang menggembirakan. Tak heran di mana-mana muncul ide kreatif warga untuk menarik wisatawan berkunjung. Hal ini sangat bagus karena berdampak pada peningkatan ekonomi setempat.

Kehadiran para wisatawan tentu anugerah yang sangat dinanti-nanti. Banyak daerah terpencil yang semula tak terdengar dan rasanya tak mungkin orang (jauh) datang, kini justru menjadi destinasi yang dicari orang. Banyak lokasi pelosok di perbukitan yang jauh dari kota, kini banyak disulap menjadi destinasi pelancongan.

Maka, saat ini, menjadi waktu paling tepat bagi pemerintah untuk menggeber pembangunan pariwisata karena mumpung rakyat tengah tinggi-tingginya sadar wisata. Ini situasi luar biasa karena tanpa dukungan pemerintah, warga secara swadaya membangun destinasi-destinasi turistik di daerah masing-masing.

Kesadaran meluas ini berkat media sosial khususnya Instagram yang dengan mudah menyebarluaskan objek-objek wisata. Warga antusias membangun proyek-proyek wisata karena Instagram telah menjadi media iklan gratis dengan dampak amat luas. Jadi, momentum semangat dan kesadaran masyarakat ini harus benar-benar ditangkap pemerintah.

Sekarang ini hampir setiap sudut yang semula hanya rawa, hutan, bukit, sungai, parit, tanah gersang, atau kawasan tak 'bertuan' berhasil disulap menjadi destinasi wisata. Banyak contoh bisa disebut. Misalnya, lihat saja kreativitas anak-anak remaja di Bukit Bintang, Leuwiliang, Kabupaten Bogor, yang mampu mengubah lahan kosong melompong milik Perhutani menjadi destinasi pelancongan dengan membangun berbagai lokasi swafoto (selfie) yang begitu mengagumkan. Warga membangun 32 spot foto. Jadi, pengunjung bisa leluasa memilih lokasi mengabadikan kunjungan.

Kemudian, kawasan gersang, di perbukitan Menoreh, rakyat berhasil menghadirkan pelancong lewat lokasi selfie Kalibiru, Kulonprogo yang memanfaatkan ketinggian dengan latar belakang nun jauh di bawah danau atau waduk Sermo. Jadilah tempat selfie yang digandrungi wisatawan. Padahal untuk mencapai lahan yang luasnya hanya beberapa ratus meter persegi ini harus menanjak berkelok-kelok. Semua usaha rakyat, bukan investor atau pengusaha!

Contoh paling giat membangun swadaya destinasi wisata diperlihatkan para korban amuk Gunung Merapi tahun 2010. Penduduk kaki Gunung Merapi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang rumah serta ladangnya diluluhlantakkan guyuran lahar panas gunung teraktif di dunia pada tahun 2010 itu, mampu melahirkan "The Lost World" yang kini menjadi salah satu kawasan wisata paling dicari para pelancong yang singgah di Yogya.

Semua hanya swadaya 80 orang dengan iuran. Uang yang terkumpul 300 juta rupiah, lalu dibangunlah The Lost World Castle (LWC). Tanpa disangka, LWC, yang hinga kini masih terus merampungkan diri itu, sumber kehidupan rakyat setempat. LWC kini menjadi destinasi paling favorit di lereng merapi. "Perekonomian warga diselamatkan tempat wisata ini," ujar salah satu warga, Rianto (39). Hampir seluruh lahan kehidupan yang terdiri dari ladang, kebun, dan tanaman habis diterjang lahar panas 1.000 derajat tahu 2010 itu. Ini perekonomian yang diciptakan sendiri oleh rakyat, tanpa bantuan siapa pun.

Awalnya, LWC bernama Benteng Takeshi. Ada pula yang memberi nama Tembok Besar Tiongkok. Maklum di pinggir-pinggir kompleks "kastil" ini memang dikelilingi tembok besar yang menyerupai The Great Wall of China. Untuk mengingat "hilangnya" permukiman di sekitar LWC akibat disapu letusan Gunung Merapi, destinasi ini lalu diberi nama LWC. Semua destinasi tadi hasil gotong-royong masyarakat. Mereka urun pasir, batu, dan uang. Itu sekadar sedikit contoh dari puluhan, ratusan, mungkin ribuan destinasi karya rakyat lokal, tanpa campur tangan pemerintah.

Kini saatnya, pemerintah turun tangan membantu mereka. Caranya, dukung destinasi-destinasi buatan warga dengan sarana dan prasarana. Contoh, bantu memperbaiki jalan, kucurkan dana untuk melengkapi fasilitas. Izinkan lahan-lahan negara dikreasi warga untuk membangun destinasi, tanpa sewa.

Jangan direcoki pihak-pihak lain. Contoh konkret di suatu destinasi, hasilnya 25 persen untuk para pengelola. Bayangkan pengelola hanya terima 25 persen, sedangkan yang 75 persen harus dibagi-bagi kepada Perhutani, polres, polsek, kecamatan, dan kelurahan. Dengan kesadaran tinggi warga atas potensi pariwisata, pemerintah tinggal mendorongnya lewat berbagai bantuan. Dengan demikian, pariwisata akan menjadi sokoguru ekonomi kerakyatan sesungguhnya. Hidup bangsa ini akan selamat berkat pariwisata yang dibangun warga di setiap jengkal lahan seluruh Nusantara. widiyatmaka

Redaktur:

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.