Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pertanian - Ekonomi Kerakyatan Jangan Sekadar “Lip Service”

Para Pemimpin Perlu Contoh Bapak Bangsa yang Dekat dengan Petani

Foto : Setneg
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan mengemukakan kunci untuk memajukan pembangunan sektor pertanian sehingga menghasilkan petani Indonesia yang mandiri dan sejahtera, terutama adalah sikap seluruh lapisan pemimpin yang bisa mencontoh kedekatan Bapak Bangsa dengan rakyat dan petani.

Dengan demikian, kebijakan pemerintah tidak memusuhi dan menelantarkan nasib petani nasional.


Saat ini, mayoritas petani nasional masih miskin. Ini dinilai akibat berbagai kebijakan pemerintah yang justru mematikan nasib petani. Contohnya, pemerintah cenderung membiarkan produk pangan impor menekan produk petani nasional.

Selain itu, penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang merugikan petani. Kemudian, pemerintah membiarkan alih fungsi lahan pertanian tanpa kendali sehingga jumlah petani dan lahan menyusut.


Direktur Pusat Studi Massa, Yogyakarta, Irsyad Ade Irawan, mengatakan seluruh pemimpin sekarang mesti mencontoh sikap Bapak Bangsa yakni Presiden Soekarno yang bisa menyatu dan dekat dengan petani.

"Pemimpin kita dulu lebih punya perhatian ke rakyat petani. Padahal, Presiden Soekarno pergaulannya mendunia, sudah bertemu dan bersahabat dengan presiden-presiden top dunia," kata dia saat dihubungi, Kamis (24/8).


Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdus Salam, menambahkan para pemimpin sekarang perlu mencontoh Presiden Soekarno yang mampu menggabungkan logika dengan olah rasa. Dengan begitu, bisa memosisikan diri bagaimana menjadi rakyat yang butuh makan, dan tahu apa yang harus dilakukan untuk memenuhi tugas itu.


"Logika petani amat sederhana, jadilah bagian dari mereka, berikan teladan sederhana, bangkitkan harapan untuk bisa menjadi pejuang kemandirian ekonomi bangsa sebagai basis kekuatan ekonomi kerakyatan dan tumbuhkan keyakinan bahwa kita bisa sejahtera bersama," papar dia.


Oleh karena itu, Surokim mengingatkan para pemimpin sekarang agar tidak kehilangan empati kepada masyarakat yang dipimpinnya, khususnya kalangan petani, sehingga bisa memiliki rasa yang sama dengan masyarakat.


"Jika para pemimpin gagal berempati dan merasakan kehidupan masyarakat petani maka kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak pro-petani, bahkan malah mematikan nasib petani sendiri," jelas dia.


Contoh paling nyata adalah kebijakan impor pangan tanpa kendali antara lain dengan dalih harga lebih murah. Petani nasional dibiarkan mati, kalah bersaing dengan produk impor yang disubsidi oleh pemerintah negara eksportir sehingga bisa menjual produk lebih murah.


Selain itu, kebergantungan pada impor yang sarat perburuan rente membuat pemerintah abai untuk memacu produktivitas nasional yang sebenarnya bisa mengangkat kesejahteraan petani sendiri.


Menurut Surokim, kelemahan para pemimpin sekarang adalah empati dan menyatu dengan perasaan masyarakat petani, sedangkan pemimpin dahulu tidak mengandalkan kecerdasan semata, tetapi juga menajamkan mata batin. Itu yang membedakan.


"Akibat kurang empati, demi menjaga inflasi dan kepentingan konsumen, pemerintah mengorbankan kepentingan petani sebagai produsen dengan kebijakan HET sejumlah komoditas pangan," imbuh dia.


Perhatian Soekarno


Terkait dengan sikap pemimpin dahulu, Irsyad mencontohkan konsistensi dan perhatian Soekarno terhadap petani dan pembangunan pertanian. Ini bisa dilihat dalam ajaran Marhaen yang diambil Bung Karno dari nama seorang petani yang dijumpainya.


"Kemudian, Soekarno dalam pledoinya yang terkenal 'Indonesia Menggugat' sangat fasih menggambarkan penderitaan petani akibat sistem tanah paksa dan kebijakan agraria kolonial. Dia bahkan mengutip data surplus pertanian yang dikuras imperialisme Rahwana," tutur Irsyad.


Selain itu, lanjut dia, pascarevolusi nasional dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949, Soekarno dengan cepat membuka Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang sekarang menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB).


"Pada peletakan batu pertama, April 1952, Bung Karno bicara panjang lebar soal pangan dan masa depan bangsa. Intinya, memaparkan pentingnya kedaulatan pangan dan menyadari pentingnya petani dan membuat pujian untuk kaum tani dengan membuat akronim Petani adalah Penyangga Tatanan Negara Indonesia," ungkap Irsyad.


Di sisi lain, kata Surokim, kebijakan pro-petani pemerintah saat ini, seperti ekonomi kerakyatan, cenderung hanya sekadar lip service, berhenti pada ucapan. Ekonomi kerakyatan kehilangan daya magisnya karena hanya dipakai sebagai hiasan bibir para pejabat negara, tetapi tidak dipraktikkan dalam laku dan jiwa.


"Kedekatan dengan petani mestinya tidak hanya berupa lisan, tetapi menjadi bagian dari kehidupan mereka sehingga roh kebijakan tidak artifisial," tegas dia. YK/SB/WP

Penulis : Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top